Kasus CPO ini bukan satu-satunya yang tengah disorot. Dalam dua tahun terakhir, Kejagung juga berhasil memulihkan aset dari kasus tambang, minyak, dan keuangan dengan total mencapai Rp28 triliun.
Namun baru kali ini, kepala negara hadir langsung menyaksikan penyerahan hasil korupsi dalam jumlah sebesar itu.
Langkah ini, menurut pengamat kebijakan publik Yusriadi Arman, merupakan “strategi komunikasi politik bersih”.
“Prabowo tahu masyarakat haus akan keteladanan. Dengan hadir langsung, ia mengirim pesan: tidak ada kompromi terhadap korupsi,” ujarnya.
Apa Selanjutnya?
Pemerintah kini tengah menyiapkan mekanisme pemantauan pemanfaatan dana hasil korupsi agar bisa digunakan secara tepat sasaran.
Kemenkeu bersama BPK dan Bappenas akan mengawal distribusi anggaran ini melalui platform Transparansi Fiskal Terpadu 2025, yang bisa diakses publik.
Selain itu, Kejagung memastikan proses hukum terhadap para pelaku masih berjalan. Pengadilan Tipikor akan menggelar sidang lanjutan bulan depan untuk memastikan seluruh aset terkait bisa disita sepenuhnya.
Langkah ini bisa menjadi pembuka babak baru pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, publik menunggu konsistensi:
apakah penegakan hukum ini akan menyentuh sektor lain seperti pertambangan, keuangan, dan pemerintahan daerah?
Indonesia pernah beberapa kali mengalami momentum serupa dari BLBI hingga Jiwasraya tetapi publik cenderung skeptis karena hasilnya tak dirasakan langsung.
Kini, dengan nilai sebesar Rp13,2 triliun kembali ke kas negara, harapannya dana tersebut benar-benar dialokasikan untuk sektor yang menyentuh kehidupan rakyat, seperti pendidikan dan bansos.
Di akhir acara, Prabowo menutup sambutannya dengan kalimat pendek yang menggema:
“Kita tidak bisa membangun negeri dengan uang kotor. Tapi kita bisa membangun harapan dengan kejujuran.”
Kata-kata itu kemudian menjadi headline di berbagai media nasional.
Sebuah kalimat yang — bagi sebagian rakyat — terasa seperti angin segar setelah bertahun-tahun mendengar janji reformasi tanpa wujud nyata.