BOGORINSIDER.com --Ketika kampus yang seharusnya menjadi ruang aman dan inspiratif mendadak diguncang oleh tragedi, itu bukan saja soal kehilangan satu nyawa, tetapi sinyal kuat bagi komunitas kampus untuk berhenti sejenak, menengok ke dalam, dan bertanya Apa yang salah? Bagaimana kita bisa berubah?
Kisah Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Universitas Udayana angkatan 2022 yang meninggal dunia setelah dugaan perundungan di kampusnya, bukan hanya berita sedih ia menjadi cermin bagi universitas, organisasi kemahasiswaan, dosen, dan mahasiswa untuk melakukan refleksi mendalam.
Timothy dikenal oleh teman-temannya sebagai pribadi yang ramah, rendah hati, dan aktif di kampus.
Baca Juga: Suara Mahasiswa Usai Tragedi Timothy Anugerah, Trauma, Solidaritas & Tuntutan
Ratusan mahasiswa, dosen, dan alumni berkumpul dalam acara doa bersama di kampus sebagai tanda penghormatan terakhir.
Kehilangan ini kemudian memicu rasa duka yang mendalam – bukan hanya untuk keluarga Timothy, tapi juga komunitas kampus yang merasakan bahwa sesuatu di dalam sistem dan budaya kampus perlu diperbaiki.
Kasus ini membuka titik terang tentang beberapa aspek yang selama ini mungkin tersembunyi dalam kehidupan kampus:
Baca Juga: Tragedi Timothy Anugrah, Nama-Nama Terduga Pelaku Bullying di Unud Beredar Luas di Sosmed
-
Lingkungan sosial kampus: Kampus bukan hanya soal akademik dan bangunan, tetapi tentang relasi antar-manusia, rasa aman, dan saling menghargai.
-
Organisasi kemahasiswaan dan budaya internal: Dugaan perundungan dan komentar-nir-empati setelah kejadian menunjukkan bahwa kultur kampus masih harus dikelola dengan lebih baik.
-
Sistem dukungan kesehatan mental: Kesehatan mental mahasiswa bukan lagi “opsional” ia bagian dari tanggung jawab kampus untuk menyediakan ruang aman dan mudah diakses.
Baca Juga: Reformasi Kampus Dimulai, Langkah Tegas Unud Usai Kasus Bullying Timothy Anugerah Hingga Bundir
Komunitas Kampus: Peran Mahasiswa, Dosen & Alumni
-
Mahasiswa: Sebagai inti komunitas kampus, mahasiswa punya peran aktif untuk membangun solidaritas, mendukung teman yang kesulitan, serta menolak budaya kekerasan (verbal atau psikologis).
-
Dosen dan staf kampus: Tidak hanya sebagai pengajar, tapi juga sebagai figur yang bisa mendeteksi tanda-tanda kesulitan mahasiswa, membuka dialog, dan mendorong intervensi awal.