Perjalanan hidup Timothy mengajarkan beberapa hal penting bagi kita mahasiswa, dosen, kampus, orang tua untuk merenungkan:
-
Pentingnya koneksi sosial & dukungan: Walau terlihat aktif dan “baik-baik saja”, tidak berarti seseorang bebas dari tekanan atau rasa sendiri.
-
Waspada terhadap bullying & culture kampus: Sistem informal seperti grup chat, komentar ringan yang “cuma bercanda”, bisa menimbulkan dampak serius.
-
Kampus sebagai lingkungan pembelajaran bukan hanya akademik: Bagaimana kampus merespon ketika terjadi kasus seperti ini menjadi ukuran kematangan institusi.
-
Kesehatan mental sebagai bagian dari pendidikan tinggi: Tidak bisa diabaikan, harus diintegrasikan dalam kebijakan kampus.
Baca Juga: 74 Tahun Prabowo: Ulang Tahun yang Menguji Janji Politik dan Konsistensi Kepemimpinan
Apa yang Bisa Kita Lakukan Sebagai Mahasiswa & Kampus
Sebagai mahasiswa atau pihak kampus di Unud maupun institusi mana saja:
-
Adakan pembinaan rutin: pelatihan empati, anti-bullying, manajemen stres, konsultasi psikologi.
-
Bentuk mekanisme pengaduan yang aman dan rahasia jika terjadi bullying atau gangguan psikologis.
-
Tingkatkan kesadaran: sadar bahwa kata-kata dan tindakan “cuma bercanda” bisa berdampak besar.
-
Kampus memperkuat kebijakan: sanksi tegas untuk pelaku bullying, dukungan aktif untuk mahasiswa yang membutuhkan.
-
Bangun komunitas peer-support: teman mahasiswa bisa menjadi garis terdepan pencegahan.
Kejadian Timothy di Unud memberi refleksi bahwa perguruan tinggi bukan sekadar ruang untuk meraih gelar, tetapi juga ruang hidup sosial yang kompleks.
Institusi seperti Unud punya tanggung-jawab besar menjaga keselamatan, mental, dan kesejahteraan seluruh mahasiswa.
Selain itu, bagi masyarakat dan media, kisah ini menjadi pengingat bahwa di balik statistik kematian atau bullying tersembunyi kisah manusia yang butuh didengar.