BOGORINSIDER.com – Pernyataan tegas Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa soal penolakan penggunaan APBN untuk membayar utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) senilai Rp116 triliun, membuka babak baru dalam perdebatan publik: siapa sebenarnya yang harus membayar utang tersebut?
Pertanyaan ini bukan sekadar wacana fiskal, tetapi juga ujian besar bagi tata kelola investasi BUMN Indonesia yang selama ini memegang peran penting dalam proyek-proyek strategis nasional.
Proyek Whoosh dijalankan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) konsorsium antara empat BUMN Indonesia (PT KAI, Wijaya Karya, PTPN VIII, dan KAI Infrastruktur) dengan China Railway International Co. Ltd. dari Tiongkok.
Skema pembiayaan dilakukan melalui pinjaman besar dari China Development Bank (CDB).
Namun sejak awal, pemerintah menegaskan proyek ini tidak dijamin APBN. Artinya, tanggung jawab keuangan berada di tangan konsorsium melalui BUMN yang tergabung di dalamnya, bukan kas negara.
Purbaya kembali menegaskan prinsip itu. “Proyek KCIC berdiri atas dasar komersial. Karena itu, risikonya ditanggung oleh badan usaha, bukan oleh pemerintah,” katanya saat ditemui di Kompleks DPR, Jumat(10/10).
Baca Juga: Purbaya Tegas: APBN Tak Akan Bayar Utang Whoosh
Holding baru BPI Danantara kini menjadi induk yang menaungi BUMN di bawah KCIC, termasuk PT KAI dan Wijaya Karya.
Danantara disebut punya potensi dividen hingga Rp80 triliun per tahun, angka yang menurut Purbaya cukup kuat untuk menopang restrukturisasi utang proyek tersebut.
“Beban finansial proyek seperti ini memang besar, tapi masih bisa dikelola oleh holding. Justru ini momentum untuk membuktikan kapasitas Danantara dalam menjaga kredibilitas BUMN,” ujar ekonom dari CORE Indonesia, Muhammad Faisal, kepada Sewaktu.id.
Ia menilai pemerintah mengambil posisi yang tepat: melindungi APBN tanpa membiarkan proyek strategis terbengkalai.
Landasan hukum proyek ini tertuang dalam Perpres Nomor 102 Tahun 2015, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa pembangunan Kereta Cepat dilakukan tanpa jaminan atau dukungan dana APBN.
Pasal itu kini menjadi dasar kuat Kemenkeu menolak wacana talangan dari kas negara.
Artinya, baik KCIC maupun Danantara wajib menanggung sendiri seluruh kewajiban pinjaman, bunga, dan operasional proyek.
Dari total biaya Rp116 triliun, sekitar 75 persen berasal dari pinjaman luar negeri, sementara 25 persen dari modal konsorsium.
Namun, pembengkakan biaya (cost overrun) hingga lebih dari Rp30 triliun memicu tekanan besar terhadap arus kas KCIC.
Jika pendapatan operasional Whoosh — yang baru beroperasi penuh sejak 2023 — belum mencukupi, maka restrukturisasi utang menjadi pilihan realistis.
Danantara dikabarkan sedang menyiapkan skema refinancing dan kemungkinan debt-to-equity swap dengan pihak Tiongkok.
Menurut analis BUMN Teguh Hidayat, langkah ini penting untuk menghindari efek domino.
“Kalau beban utang dibiarkan menggantung, itu bisa memengaruhi rating kredit BUMN lain di bawah Danantara,” ujarnya.