BOGORINSIDER.com – Ketika Indonesia berjuang mewujudkan cita-cita energi bersih, kasus dugaan korupsi PLTU 1 Kalimantan Barat muncul sebagai tamparan keras bagi komitmen pemerintah dalam transisi energi.
Proyek yang semula dijanjikan mampu menambah pasokan listrik di Kalimantan Barat itu kini justru menjadi simbol gagalnya tata kelola energi nasional dan mengingatkan kita bahwa energi bersih tidak mungkin lahir dari sistem yang kotor.
Ambisi Energi Nasional 2025
Pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025.
Artinya, sebagian besar kebutuhan listrik Indonesia diharapkan berasal dari sumber ramah lingkungan: tenaga surya, air, angin, dan biomassa.
Namun realitanya, hingga pertengahan 2025, porsi EBT baru mencapai 14,8% (data Kementerian ESDM). Salah satu faktor penghambatnya adalah proyek-proyek pembangkit berbasis batu bara yang mangkrak salah satunya PLTU 1 Kalbar, tempat nama Halim Kalla kini jadi tersangka.
“Korupsi dalam proyek energi fosil memperlambat transisi energi dan menimbulkan efek domino ke sektor investasi,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR (Institute for Essential Services Reform).
PLTU Kalbar: Dari Harapan ke Hambatan
PLTU 1 Kalbar awalnya digadang menjadi proyek strategis nasional yang akan memasok listrik hingga 100 MW untuk kawasan industri Mempawah dan Pontianak.
Namun proyek senilai Rp1,3 triliun itu tak pernah selesai. Setelah sepuluh kali adendum kontrak, pembangunannya berhenti di angka 85,56% meski dana sudah terserap penuh.
Kini, lokasi proyek berubah menjadi “monumen beton” di tengah hutan Kalbar simbol ketidakberesan pengelolaan energi di daerah.
Kerugian negara ditaksir mencapai Rp323 miliar dan USD 62,4 juta, menurut audit BPK.
Lebih parah lagi, masyarakat sekitar kehilangan potensi listrik bersih yang seharusnya menopang kawasan ekonomi baru di Kalimantan.
Dampak pada Kepercayaan Investor
Skandal PLTU Kalbar langsung mengguncang kepercayaan investor energi, baik domestik maupun asing.
Beberapa perusahaan Jepang dan Korea yang sebelumnya berminat menanam modal di proyek pembangkit listrik di Sulawesi dan Kalimantan kini menunda kesepakatan investasi.
“Investor melihat bahwa risiko korupsi masih tinggi di sektor energi. Ini membuat modal masuk menjadi lambat,” ungkap Yunarto Wibisono, analis energi dari Universitas Indonesia.
Padahal, untuk mencapai target EBT 2025, Indonesia membutuhkan investasi minimal USD 25 miliar.
Setiap kasus korupsi seperti PLTU Kalbar memperburuk persepsi global dan menghambat arus modal bersih.