BOGORINSIDER.com – Kasus dugaan korupsi proyek PLTU 1 Kalimantan Barat yang menjerat Halim Kalla kini memasuki babak hukum yang serius.
Nilai proyek mencapai Rp1,3 triliun, dan dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara ditaksir lebih dari Rp323,19 miliar dan USD 62,4 juta.
Namun, di balik angka besar itu, muncul pertanyaan lebih besar: apa dasar hukum yang menjerat Halim Kalla dan rekan-rekannya, dan bagaimana peluang kasus ini berlanjut ke ranah tindak pidana pencucian uang (TPPU)?
Dasar Hukum: UU Tipikor dan Peran Korporasi
Bareskrim Polri menjerat Halim Kalla dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Secara sederhana, pasal ini menjerat siapa pun yang:
“secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara.”
Ancaman hukumannya berat — minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara, dengan denda hingga Rp1 miliar.
Pasal 3 mempertegas unsur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat atau pihak yang dipercaya menjalankan kegiatan publik.
Dalam konteks ini, Halim Kalla dinilai memiliki tanggung jawab karena menjabat Presiden Direktur PT Bumi Rama Nusantara (BRN), perusahaan pelaksana proyek.
“Sebagai penanggung jawab utama proyek, HK dianggap mengetahui dan menyetujui penggunaan dana yang tidak sesuai dengan kontrak kerja,” ujar Brigjen Pol. M. Iqbal, Direktur Tipikor Bareskrim (7/10/2025).
Kronologi Hukum Singkat
- 2008–2009: Tender proyek PLTU 1 Kalbar dimenangkan oleh PT BRN.
- 2010–2012: Proyek mulai berjalan, namun realisasi fisik hanya 57%.
- 2016: Proyek dinyatakan mangkrak meski dana terserap 100%.
- 2023: BPK dan Polri mulai melakukan investigasi bersama.
- Mei 2024: Bareskrim ambil alih kasus dari Polda Kalbar.
- 3 Oktober 2025: Empat tersangka diumumkan, termasuk Halim Kalla.
Baca Juga: Reformasi Pengadaan Energi: Pelajaran dari Kasus Halim Kalla
Modus yang Ditemukan
Dari hasil penyidikan, ada tiga dugaan modus utama:
- Pemufakatan tender sejak awal.
Perusahaan pemenang sudah ditentukan sebelum proses lelang dimulai. - Rekayasa progres proyek.
Laporan fisik proyek dibuat seolah sudah mencapai target agar dana bisa dicairkan. - Manipulasi adendum kontrak.
Sepuluh kali perubahan kontrak tanpa dasar teknis yang kuat indikasi penyalahgunaan kewenangan.
Hasil penyidikan menunjukkan bahwa dari sepuluh adendum kontrak, setidaknya enam di antaranya tidak melalui persetujuan PLN pusat dan Kementerian ESDM.