BOGORINSIDER.com – Kasus dugaan korupsi proyek PLTU 1 Kalimantan Barat (Kalbar) yang menjerat Halim Kalla telah membuka luka lama dalam sistem pengadaan proyek energi Indonesia.
Proyek senilai Rp1,3 triliun itu gagal diselesaikan meski dana telah habis, dan kini menjadi simbol lemahnya pengawasan serta kolusi dalam proyek strategis nasional (PSN).
Tapi dari kasus inilah, muncul desakan kuat agar reformasi pengadaan energi dilakukan secara menyeluruh dari tahap perencanaan hingga audit akhir.
Luka Lama yang Kambuh
Masalah di proyek energi sebenarnya bukan hal baru.
Dalam 15 tahun terakhir, Indonesia mencatat lebih dari 20 kasus korupsi proyek pembangkit listrik, dari PLTU, PLTA, hingga proyek energi terbarukan.
Modusnya mirip: tender tidak transparan, dokumen dipalsukan, hingga proyek tak selesai.
Kasus Halim Kalla hanyalah puncak gunung es dari penyakit lama kurangnya integritas dalam pengadaan barang dan jasa publik.
“Kita tidak bisa bicara energi bersih kalau prosesnya masih kotor,” ujar Prof. Hikmahanto Juwana, pakar hukum UI.
“Transparansi bukan pilihan, tapi keharusan.”
Sistem Pengadaan yang Masih Manual
Hingga kini, sebagian besar proyek energi di Indonesia masih menggunakan sistem pengadaan semi-manual.
Meski sudah ada platform seperti LPSE dan e-Proc PLN, data kontrak, nilai tender, dan progres proyek belum sepenuhnya terbuka untuk publik.
Padahal, di era digital, keterbukaan data adalah tameng pertama melawan korupsi.
Negara seperti Korea Selatan, India, dan Vietnam telah menerapkan open contracting system, di mana seluruh proses tender bisa dilihat masyarakat secara daring termasuk revisi anggaran dan pihak pemenang.
“Di Indonesia, publik baru tahu ada masalah ketika proyeknya gagal,” kata Yuli Andayani, peneliti kebijakan energi dari LPEM UI.
Belajar dari Kasus Halim Kalla
Kasus PLTU Kalbar memperlihatkan bagaimana sistem pengadaan yang lemah bisa membuka celah kolusi:
- Tender diarahkan ke perusahaan tertentu.
- Adendum kontrak berulang tanpa evaluasi teknis.
- Pengawasan internal minim.
- Proyek tidak selesai tapi dana cair penuh.
Selain itu, belum adanya sistem peringatan dini (early warning system) menyebabkan penyimpangan baru terdeteksi setelah proyek berhenti bertahun-tahun.
Artikel Terkait
Dua Terdakwa Kasus Korupsi Selter Tsunami di NTB Dituntut 6 hingga 7,5 Tahun Penjara oleh JPU KPK
KPK Temukan Senjata Api di Rumah Tersangka Kasus Korupsi ASDP, Lapor ke Polisi
Empat Pejabat Resmi Jadi Tersangka Kasus Korupsi Laptop Chromebook Kemendikbud Era Nadiem
Kerugian Capai Rp777 Juta! Dugaan Korupsi Pengadaan PTS di RSUD Leuwiliang Diselidiki Kejaksaan
KPK Periksa Komisaris Utama PT Dosni Roha Logistik Terkait Dugaan Korupsi Bansos Kemensos