BOGORINSIDER.com --Isu dugaan keterlibatan Taman Safari Indonesia dalam praktik perdagangan satwa liar ilegal dan eksploitasi tenaga kerja telah memicu kekhawatiran di berbagai kalangan.
Lembaga yang semestinya menjadi garda terdepan dalam pelestarian hewan-hewan langka justru dituding terlibat dalam aktivitas yang berseberangan dengan semangat konservasi.
Kasus ini menjadi bukti nyata lemahnya sistem pengawasan terhadap lembaga konservasi di Indonesia.
Sorotan tajam semakin menguat seiring dengan terbitnya laporan investigatif dari Majalah Tempo serta berlanjutnya pengusutan hukum hingga tahun 2025.
Baca Juga: Tuntutan eks pemain sirkus OCI di Taman Safari Indonesia
Kondisi ini mendesak perlunya langkah tegas dari pemerintah dan aparat penegak hukum demi menjaga kelestarian sumber daya alam Indonesia secara berkelanjutan.
1. Skandal Perdagangan Satwa Liar di Taman Safari
Pada awal tahun 2019, penyidik Bareskrim Polri menggerebek Taman Safari Bogor dan menyita delapan ekor satwa dilindungi. Di antara hewan-hewan yang disita terdapat elang bondol, kakatua jambul kuning, musang, dan berbagai jenis burung eksotis. Satwa-satwa ini diduga merupakan hasil dari perburuan ilegal yang kemudian dimasukkan ke dalam koleksi konservasi milik Taman Safari untuk melegalkan status kepemilikannya.
Ajun Komisaris Besar Sugeng, Kepala Unit V Subdit I Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim, mengungkapkan bahwa pihak kepolisian mencurigai adanya oknum di internal Taman Safari yang bekerja sama dengan jaringan perdagangan satwa ilegal. Salah satu nama yang disebut dalam kasus ini adalah Abdul Hopir, pedagang satwa liar yang disebut-sebut memanfaatkan fasilitas Taman Safari untuk melakukan “pemutihan” satwa ilegal.
Melalui manipulasi status, hewan-hewan hasil tangkapan liar dimasukkan ke dalam daftar konservasi ex situ, menjadikan mereka seolah-olah berasal dari jalur legal. Praktik ini membuat asal-usul hewan tersebut sulit dilacak dan berpotensi menutup jejak aktivitas perburuan liar.
Tak hanya itu, Taman Safari juga dikaitkan dengan dugaan perdagangan ilegal lumba-lumba. Batang Dolphin Center, sebuah unit usaha yang beroperasi di bawah naungan Taman Safari sejak 2009, disinyalir menjadi kedok untuk menjual lumba-lumba ke berbagai pertunjukan sirkus. Padahal, praktik semacam ini bertentangan dengan undang-undang perlindungan satwa di Indonesia.
Dalam penyelidikan lanjutan, penyidik turut memeriksa Imam Purwadi, kurator Taman Safari, yang diduga terlibat dalam transaksi satwa hasil pasar gelap. Perannya disebut-sebut krusial dalam memfasilitasi proses legalisasi hewan-hewan tersebut. Pemeriksaan ini menjadi bagian penting dalam pembongkaran jaringan perdagangan satwa liar yang diduga menjadikan Taman Safari sebagai pusat transit dan legalisasi ilegal.
“Kami berencana memanggil pihak Taman Safari Indonesia, terutama di level kurator, untuk dimintai keterangan,” kata AKBP Sugeng dalam pernyataannya pada Jumat, 12 April 2019.
Kasus ini masih terus bergulir dan menjadi sorotan nasional, sekaligus membuka kembali diskusi besar mengenai transparansi, integritas, dan komitmen lembaga-lembaga konservasi di Indonesia terhadap pelestarian satwa liar.