Dengan kata lain, kebijakan simbolik ini punya efek riil bagi ekonomi nasional.
Di media sosial, tagar #WajibMaung langsung trending.
Sebagian besar warganet mengapresiasi langkah Presiden karena dinilai nasionalis dan membumi.
“Hebat! Baru kali ini pejabat disuruh naik mobil buatan lokal,” tulis akun X @nasionalismeID.
Namun ada juga suara skeptis:
“Semoga bukan cuma pencitraan, tapi benar-benar diterapkan,” komentar akun @kritisbanget.
Respons beragam itu menunjukkan bahwa publik masih menaruh perhatian besar pada komitmen nyata pemerintah, bukan hanya simbol.
Kebijakan wajib Maung mencerminkan gaya kepemimpinan khas Prabowo: tegas, nasionalis, dan menekankan teladan dari pemimpin.
Langkah ini mengingatkan publik pada pesan lama Bung Karno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai karya anaknya sendiri.”
Kini, pesan itu kembali hidup di tengah era modern lewat kebijakan yang mungkin terlihat sederhana tapi sarat makna politik dan ekonomi.
Instruksi “semua menteri wajib naik Maung” lebih dari sekadar aturan kendaraan dinas.
Ia adalah simbol transisi menuju pemerintahan yang ingin berdikari secara ekonomi, tampil sederhana, dan berorientasi pada produk dalam negeri.
Dan seperti kata Prabowo sendiri di akhir pidato kabinet hari itu:
“Kalau kita tidak bangga dengan buatan sendiri, siapa lagi yang akan bangga?”
Sebuah kalimat yang menggema bukan hanya di ruang sidang, tapi juga di hati rakyat.