BOGORINSIDER.com – Ribuan petani kembali memenuhi jalanan di depan Gedung DPR RI, Jakarta, pada peringatan Hari Tani Nasional, Rabu (24/9/2025). Teriakan mereka menggema: “Reforma agraria sejati, bukan janji!”
Di balik aksi besar ini, ada luka lama yang tak kunjung sembuh. Konflik agraria di Indonesia bukan hanya masalah hukum, tetapi juga menyangkut hidup jutaan keluarga petani.
Pertanyaannya: mengapa persoalan ini seakan tidak pernah selesai?
Akar Masalah: Ketimpangan Penguasaan Tanah
Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan, 1% penduduk menguasai lebih dari 50% tanah produktif di Indonesia.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri, properti, hingga tambang, mempersempit ruang hidup petani. Mereka yang dulu memiliki sawah, kini banyak yang harus menjadi buruh tani atau bahkan beralih profesi.
“Lahan kami diambil untuk perkebunan sawit. Janji kompensasi tidak pernah terealisasi,” ungkap Yati, seorang petani perempuan asal Kalimantan Barat.
Dampak Langsung bagi Kehidupan Petani
Konflik agraria berdampak luas:
- Hilangnya sumber penghidupan karena lahan garapan disita.
- Kemiskinan struktural akibat petani kehilangan akses terhadap tanah.
- Kriminalisasi ketika petani yang mempertahankan tanah justru dikriminalkan dengan tuduhan “penyerobotan”.
KPA mencatat lebih dari 170 ribu keluarga petani terdampak konflik agraria sepanjang 2024, dengan 150 kasus berujung kriminalisasi.
Mengapa Harus Turun ke Jalan?
Petani mengaku, jalur birokrasi tidak memberi harapan. Aduan ke pemerintah daerah atau kementerian sering berakhir tanpa solusi.
“Kalau kami tidak turun ke jalan, suara kami tidak pernah didengar. Demo ini bukan sekadar protes, tapi juga cara bertahan hidup,” kata Edi, petani asal Indramayu.
Massa aksi berharap tekanan publik bisa mendorong DPR dan pemerintah membuka ruang dialog serius.