BOGORINSIDER.com --Misteri absensi panjang anggota DPRD Kota Bogor, Desy Yanthi Utami, akhirnya mulai terjawab.
Selama berbulan-bulan, publik bertanya-tanya mengapa politisi dari Fraksi Golkar itu tak kunjung hadir dalam rapat paripurna maupun rapat komisi. Ternyata, ada alasan medis serius di balik ketidakhadirannya.
Ketidakhadiran yang Mengundang Tanda Tanya
Catatan media menunjukkan, Desy absen belasan kali dari rapat resmi DPRD Kota Bogor.
Fakta ini sempat memicu kritik publik, terutama karena tidak ada keterangan resmi yang disampaikan. Warga menilai, tanpa kejelasan, absensi ini bisa dianggap bentuk pengabaian terhadap amanah konstituen.
Baca Juga: Desy Yanthi DPRD Bogor Absensi Panjang 6 Bulan, GajI dan Tunjangan Tetap Full
Alasan Medis: Kehamilan Risiko Tinggi
Suara.com melaporkan bahwa Desy tengah menghadapi kondisi kehamilan dengan risiko tinggi. Dokter menyarankan agar ia beristirahat penuh dan menghindari aktivitas berat, termasuk menghadiri rapat dewan.
Situasi ini menjelaskan mengapa ia tidak bisa hadir secara fisik selama berbulan-bulan.
Kondisi ini sebenarnya bisa dipahami secara manusiawi. Seorang perempuan yang tengah mengandung dengan risiko medis tentu membutuhkan perlindungan ekstra. Namun, masalah muncul ketika penjelasan tersebut tidak disampaikan secara terbuka sejak awal.
Kasus Desy membuka diskusi menarik: sejauh mana seorang pejabat publik berhak menjaga privasi kesehatan, dan sejauh mana publik berhak mendapatkan transparansi?
Baca Juga: Bau Mulut Jika Tidak Dirawat dengan Benar
Di satu sisi, kesehatan adalah ranah pribadi. Namun di sisi lain, jabatan publik membawa kewajiban moral dan hukum untuk menjelaskan ketidakhadiran, apalagi jika berdampak pada kinerja lembaga.
Hingga kini, penjelasan resmi dari DPRD Kota Bogor maupun Partai Golkar terkait absensi Desy masih minim. Publik berharap ada komunikasi lebih terbuka, agar spekulasi tak berkembang liar.
Jika alasan medis memang menjadi faktor utama, maka penting bagi lembaga untuk menjelaskan situasi ini secara transparan.
Tanpa komunikasi yang jelas, absensi panjang bisa dengan mudah dianggap sebagai kelalaian, meski sebenarnya ada faktor kemanusiaan yang mendasar.