Beberapa catatan penting:
- Moral Hazard: Wajib pajak cenderung menunggu amnesty berikutnya.
- Ketidakadilan: Wajib pajak patuh merasa dirugikan karena yang melanggar justru mendapat keringanan.
- Ketergantungan Pemerintah: Negara terlalu bergantung pada penerimaan jangka pendek, alih-alih memperkuat sistem pajak.
Mengapa Purbaya Menolak Jilid III?
Belajar dari pengalaman dua amnesty sebelumnya, Purbaya menilai cukup sudah. Menurutnya, pemerintah harus membangun sistem pajak yang sehat dan berkelanjutan, bukan lagi mencari solusi instan.
Ia menekankan pentingnya digitalisasi sistem Coretax, memperluas basis wajib pajak, dan meningkatkan pelayanan agar masyarakat patuh secara sukarela.
Baca Juga: Purbaya Tolak Tax Amnesty, Apa Efek Ekonomi?
Konteks Global: Bagaimana Negara Lain?
Indonesia bukan satu-satunya negara yang pernah melakukan tax amnesty. Italia, India, dan Argentina juga pernah melakukannya. Namun, hasilnya relatif sama: penerimaan instan meningkat, tapi kepatuhan jangka panjang tidak banyak berubah.
Banyak negara kini beralih ke sistem administrasi modern dan pengawasan ketat, bukan lagi mengandalkan amnesty.
Tax Amnesty di Indonesia sudah dua kali berjalan, memberi penerimaan tambahan bagi negara, tapi juga meninggalkan pertanyaan tentang keadilan dan efektivitas.
Kini, dengan penolakan Purbaya terhadap jilid III, publik menanti apakah pemerintah benar-benar mampu memperkuat pondasi pajak nasional tanpa harus mengulang pola lama.
“Sejarah seharusnya jadi pelajaran. Kita tidak bisa terus berharap pada pengampunan. Pajak harus ditegakkan dengan adil dan konsisten,” tegas Purbaya.
Artikel Terkait
Mantan Presiden Jokowi Puji Purbaya, Bandingkan Mazhab Ekonominya Beda dengan Sri Mulyani
Kisah Menkeu Purbaya & Drama Likuiditas, Antara Dorongan Kredit & Takut Rupiah Makin Loyo
Ayahnya Baru Dilantik Jadi Menkeu, Unggahan Anak Purbaya Soal CIA Bikin Netizen Riuh
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa Hadapi Simbol Tantangan ‘17+8’ Jadi Sorotan Publik
Sosok Istri Menkeu Purbaya, Sederhana tapi Berani Sebut Suami “Sombong” di DPR