“Saya tidak perlu menjawab dengan kata-kata. Saya menjawab dengan kerja.”
Kalimat itu menjadi moto yang banyak dikutip pendukungnya di media sosial dengan tagar #KerjaNyata74.
Baca Juga: Jejak Panjang Prabowo Subianto: Dari Kopassus ke Kursi Presiden
Menakar Konsistensi Nasionalisme di Era Global
Salah satu ujian terbesar bagi Prabowo di tahun keduanya nanti adalah menjaga keseimbangan antara nasionalisme dan pragmatisme global.
Kebijakan impor bahan pangan, kerja sama alutsista dengan Tiongkok, serta diplomasi pertahanan menjadi perdebatan publik.
Namun, analis hubungan internasional menilai langkah tersebut sebagai bentuk nasionalisme strategis realistis tapi tetap berdaulat.
“Prabowo tidak ingin Indonesia bergantung, tapi juga tidak mau terisolasi,” kata pakar politik luar negeri UI, Dr. Rini Suryani.
Antara Janji dan Bukti
Dalam sejarah politik Indonesia, hanya sedikit pemimpin yang bisa menjaga keseimbangan antara idealisme dan pragmatisme.
Prabowo kini berdiri di persimpangan itu antara janji masa kampanye dan realitas pemerintahan.
Ia bukan lagi oposisi yang menyerukan perubahan, tapi pemegang mandat rakyat yang harus memastikan perubahan benar-benar terjadi.
Dan dalam perjalanan itu, setiap kebijakan akan menjadi bukti apakah kata-kata kampanye mampu diterjemahkan menjadi tindakan kenegaraan.
74 tahun bukan usia muda, tapi juga bukan akhir perjuangan.
Prabowo tampak semakin matang, tidak lagi mudah tersulut emosi, dan lebih banyak menampilkan sosok negarawan ketimbang politisi.
Ulang tahun kali ini menandai babak baru dari janji politik menjadi tanggung jawab moral.
Bagi rakyat, ia bukan lagi “calon pemimpin” yang menjanjikan harapan, melainkan pemimpin yang harus menjaga kepercayaan.
Dan sebagaimana pesan terakhirnya dalam unggahan media sosial:
“Saya tidak sempurna. Tapi selama masih diberi waktu, saya akan terus memperjuangkan yang terbaik untuk negeri ini.”
Itu bukan sekadar ucapan ulang tahun. Itu ikrar kepemimpinan.