BOGORINSIDER.com – Kisah Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) tak sekadar tentang transportasi supercepat.
Di balik megahnya proyek ini, tersimpan pelajaran berharga tentang batas antara ambisi pembangunan dan kewajaran finansial.
Pernyataan tegas Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menolak penggunaan APBN untuk membayar utang Rp116 triliun membuka ruang refleksi baru:
Apakah BUMN kita sudah cukup disiplin dalam berinvestasi?
Proyek Besar, Risiko Besar
Proyek Whoosh adalah simbol kemajuan, tapi juga cermin risiko yang nyata.
Dengan model business to business (B2B), konsorsium BUMN dituntut mandiri secara finansial. Namun, pembengkakan biaya hingga puluhan triliun membuktikan bahwa optimisme tanpa mitigasi bisa berbahaya.
Ekonom senior Chatib Basri pernah mengingatkan,
“BUMN bukan mesin keajaiban. Mereka entitas bisnis yang tetap bisa gagal jika analisis risikonya lemah.”
Pelajaran ini kembali relevan. BUMN tidak bisa hanya mengejar proyek prestisius tanpa memperhitungkan beban jangka panjang terhadap keuangan negara.
Ketika Ambisi Melampaui Kalkulasi
Dalam laporan audit internal 2024, KCIC mencatat beberapa penyebab utama pembengkakan biaya: perubahan trase, kenaikan harga logistik, dan tambahan infrastruktur noninti seperti peron dan sistem sinyal baru.
Masalahnya, sebagian keputusan itu diambil tanpa penyesuaian analisis finansial yang memadai.
Kondisi ini menunjukkan kurangnya governance check di level proyek BUMN.
“Sering kali proyek dikejar target politik, bukan target ekonomi,” ujar analis kebijakan publik Devie Rahmawati kepada BOGORINSIDER.com.
Baca Juga: Utang Membengkak Rp116T, Begini Kronologi Proyek Whoosh
BUMN Bukan ATM Negara
Langkah Purbaya menolak APBN untuk menalangi utang Whoosh menjadi sinyal penting: BUMN bukan lagi ATM negara.
Sikap tegas ini sejalan dengan prinsip corporate governance modern yang menuntut transparansi, akuntabilitas, dan pemisahan yang tegas antara peran negara dan korporasi.
“Kalau setiap proyek BUMN yang gagal ditalangi APBN, kita tidak akan pernah punya BUMN yang efisien,” kata Eko Listiyanto, pengamat fiskal dari INDEF.