- Kerugian negara: lebih dari Rp323 miliar dan USD 62 juta.
- Masyarakat sekitar: kehilangan akses listrik stabil yang dijanjikan.
- Investor: kehilangan kepercayaan untuk menanam modal di proyek energi daerah.
Kasus ini menunjukkan bahwa korupsi proyek energi bukan hanya “kejahatan uang”, tapi juga kejahatan terhadap pembangunan.
Kegagalan Pengawasan
Sistem pengawasan proyek energi di Indonesia masih mengandalkan laporan manual dan audit pasca proyek. Padahal, di negara seperti Korea Selatan atau Jepang, pengawasan dilakukan real-time menggunakan sistem digital tender monitoring.
Sayangnya, menurut data Kementerian BUMN, hanya 20% proyek energi nasional yang telah menerapkan sistem monitoring berbasis digital.
“Kalau semua proyek bisa dilihat publik lewat dashboard daring, celah manipulasi akan sangat kecil,” ujar Wanda Rahma, analis kebijakan publik dari UI.
Baca Juga: Tinjauan Hukum Kasus Halim Kalla: Kerugian & Pasal Berat
Peran Politik dan Koneksi
Satu faktor lain yang tak bisa diabaikan: politik.
Banyak proyek energi skala besar dikategorikan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), yang biasanya mendapat dukungan langsung dari pejabat tinggi atau kelompok bisnis tertentu.
Kedekatan dengan pengambil keputusan kerap menciptakan konflik kepentingan. Dalam kasus PLTU Kalbar, posisi Halim Kalla sebagai pengusaha berpengaruh dan adik dari mantan Wapres membuat sorotan publik semakin tajam.
Solusi: Energi Bersih Harus dari Tata Kelola Bersih
Untuk mencegah kasus serupa, para pakar menyarankan reformasi dalam tiga aspek:
- Digitalisasi penuh proses tender dan pembayaran proyek.
Setiap perubahan kontrak atau adendum harus terekam dan bisa diakses publik. - Audit berbasis data real-time.
Dengan teknologi blockchain atau AI tracking, setiap transaksi bisa ditelusuri jejaknya. - Transparansi LHKPN & benturan kepentingan.
Setiap pejabat atau pengusaha yang terlibat proyek PSN wajib melaporkan afiliasi dan kekayaan secara berkala.
Karena, seperti kata Jusuf Kalla dalam pidato lama tentang etika bisnis:
“Bangunlah negeri dengan hati yang jujur, karena listrik tanpa integritas tak akan pernah menerangi siapa pun.”
Kasus Halim Kalla menjadi cermin bagaimana sektor energi yang seharusnya menerangi negeri justru bisa menjadi sumber kegelapan ketika integritas ditinggalkan.
Namun, ia juga bisa jadi momentum perubahan besar: mendorong sistem pengadaan yang lebih bersih, pengawasan yang terbuka, dan budaya bisnis yang jujur.