BOGORINSIDER.com – Wacana Tax Amnesty selalu menjadi perdebatan hangat di Indonesia. Sejak pertama kali digulirkan pada 2016 hingga jilid kedua pada 2022, kebijakan ini memunculkan pro dan kontra.
Kini, dengan munculnya wacana jilid III, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan penolakannya.
Tax Amnesty Jilid I (2016–2017): Program Ambisius Era Jokowi
Tax Amnesty pertama digelar pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2016. Tujuannya jelas: menarik dana warga negara Indonesia yang disimpan di luar negeri, sekaligus meningkatkan penerimaan pajak.
Hasilnya cukup mencengangkan:
- Deklarasi harta: lebih dari Rp4.800 triliun.
- Repatriasi dana: sekitar Rp147 triliun kembali ke tanah air.
- Tebusan pajak: mencapai Rp135 triliun.
Meski terlihat sukses dari sisi angka, kritik bermunculan. Banyak kalangan menilai tax amnesty hanya menguntungkan kelompok kaya, sementara kepatuhan jangka panjang tidak meningkat signifikan.
Baca Juga: Pajak Adil Tanpa Amnesty: Harapan Wajib Pajak Jujur
Tax Amnesty Jilid II (2022): Program Pengungkapan Sukarela
Lima tahun setelah program pertama, pemerintah kembali membuka pintu lewat Program Pengungkapan Sukarela (PPS) 2022, yang kerap disebut sebagai tax amnesty jilid II.
Targetnya adalah mereka yang belum sempat mengungkapkan harta pada periode sebelumnya. PPS berlangsung dari Januari hingga Juni 2022.
Hasil PPS 2022:
- Deklarasi harta: lebih dari Rp600 triliun.
- Setoran pajak: mencapai Rp61 triliun.
Walau angka ini menambah penerimaan negara, banyak ekonom menilai hasilnya lebih kecil dibandingkan tax amnesty jilid I. Lagi-lagi, efek kepatuhan jangka panjang masih diragukan.
Dampak Nyata Tax Amnesty
Kedua program tersebut memang membantu APBN secara instan, namun efeknya seperti “obat pereda nyeri” – meredakan sementara, tapi tidak menyembuhkan penyakit utamanya.