BOGORINSIDER.com --Kenapa Indonesia selalu jadi yang paling terpuruk saat krisis? Pertanyaan itu terus menghantui Purbaya sejak tahun 1998, ketika negeri ini runtuh akibat badai moneter.
Hari itu di depan Komisi XI DPR, ia bercerita bukan sebagai pejabat baru, tapi sebagai ekonom yang sudah makan asam garam perjalanan panjang.
“Saya enggak mau sombong,” katanya, “tapi pengalaman inilah yang harus meyakinkan bapak-ibu semua.”
Baca Juga: Pasar Panik, Rupiah & IHSG Tertekan Usai Reshuffle
Perjalanannya dimulai dari masa muda, ketika pulang sekolah tahun 2000 dan langsung terjun di sektor finansial. Ia pernah membantu tim ekonomi Presiden SBY, lalu menjadi staf di KSP era Jokowi, hingga akhirnya dipercaya Presiden Prabowo memimpin misi besar: menghidupkan kembali mesin ekonomi Indonesia.
Purbaya mengingat betul kesalahan fatal 1997–1998. Saat itu suku bunga dinaikkan hingga 60%, tapi di sisi lain pencetakan uang melonjak 100%. Kebijakan kacau yang justru menghancurkan sektor riil.
“Kita membiayai kehancuran kita sendiri,” ujarnya. Sejak itu, ia bersumpah tak ingin bangsa ini mengulang kesalahan yang sama.
Baca Juga: Sri Mulyani Out, Purbaya Yudhi Jadi Menkeu Baru
Dari pengalaman 2008, 2015, hingga pandemi 2020, ia belajar satu hal: ekonomi harus dijaga dengan keseimbangan likuiditas. Tanpa itu, sektor riil lumpuh dan rakyat paling menderita.
Kini, Purbaya mengusung satu misi sederhana tapi berat: menghidupkan kembali dua mesin utama, fiskal dan moneter.
Caranya? Percepat belanja anggaran, kembalikan uang ke sistem perbankan, dan jangan biarkan likuiditas mengering. “Kalau dua-duanya mati, Indonesia lebih buruk dari sebelumnya,” tegasnya.
Baca Juga: Menkeu Baru Purbaya Jadi Sorotan Global, Media Asing Wanti-wanti Risiko Fiskal
Ia menutup dengan keyakinan. Jika sektor swasta diberi ruang hidup seperti era SBY, ditambah program pemerintah yang kuat seperti era Jokowi, maka pertumbuhan bisa melampaui 6%. “Ini bukan mimpi kosong,” katanya, “tapi pelajaran dari sejarah.”
Pidato Purbaya hari itu bukan sekadar laporan. Ia mengingatkan: ekonomi bukan teori di atas kertas, tapi napas rakyat yang harus dijaga. Dan kini, tugas berat itu ada di pundaknya.