BOGORINSIDER.com --Kontroversi sponsor PT Freeport Indonesia di Pestapora 2025 bukan sekadar cerita soal musik.
Ia berkembang menjadi drama sosial yang melibatkan publik, musisi, hingga penyelenggara.
Panggung yang seharusnya jadi ruang euforia berubah menjadi medan perdebatan. Pertanyaannya bagaimana reaksi publik, dan bagaimana panitia merespons badai kritik ini?
Publik Merasa Dikhianati
Bagi sebagian penonton, Pestapora sejak awal dikenal sebagai festival “pesta rakyat”. Namun ketika Freeport diumumkan sebagai sponsor, banyak yang menilai identitas itu hilang.
Baca Juga: Dari Sponsor ke Skandal, Dampak Freeport Guncang Pestapora 2025
Komentar pedas membanjiri media sosial:
-
“Festival ini bukan lagi milik rakyat, tapi milik korporasi.”
-
“Kenapa harus Freeport? Apa panitia tidak punya pilihan lain?”
Kekecewaan makin dalam ketika 28 musisi dan band mundur, membuat tiket yang sudah dibeli terasa kehilangan value.
Musisi Jadi Wakil Suara Publik
Menariknya, suara musisi justru sejalan dengan publik. Dengan memilih mundur, mereka dianggap merepresentasikan kekecewaan masyarakat. Publik ramai memberikan dukungan moral kepada musisi yang berani ambil sikap.
Solidaritas ini menunjukkan bahwa musik bukan sekadar hiburan, tapi juga alat perjuangan.
Panitia Minta Maaf dan Klarifikasi
Di tengah hujan kritik, direktur festival Kiki Aulia Ucup akhirnya buka suara. Ia menegaskan:
Baca Juga: Meski Skandal Hingga Puluhan Musisi Milih Mundur, Pestapora 2025 Tetap Digelar Sesuai Jadwal
“Kami meminta maaf atas kegaduhan ini. Tidak ada uang Freeport yang masuk ke Pestapora. Kerja sama sudah resmi diputus per 6 September 2025.”