BOGORINSIDER.com --Sri Haryati terpukul saat melihat lapak dagangannya di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, dibongkar oleh petugas pada Senin pagi.
Sudah selama kurang lebih 8 tahun ia bersama suaminya mengelola warung kopi dan bensin eceran di Jalan Raya Puncak, Desa Tugu Selatan, Cisarua, untuk mencari nafkah.
Dalam wawancara dengan Radar Bogor, Sri Haryati mengungkapkan rasa tak rela atas keputusan pembongkaran yang membuat warung dan tempat tinggalnya di Puncak dihancurkan.
"Saya tidak memiliki rumah lain, kami tinggal di sini, tidur bersama suami dan anak," ujarnya dengan berlinang air mata.
Saat lapaknya dibongkar, barang-barang pribadinya seperti tempat tidur dan pakaian masih berada di dalam warung yang tertimbun material.
Sri Haryati merasa bahwa pemerintah tidak memperhatikan nasib para pedagang seperti dirinya yang berjuang di tengah kesulitan.
Kondisinya yang terus-menerus mengalami kesulitan hidup tidak diindahkan oleh pihak berwenang, sehingga ia merasa terpinggirkan dan tidak mendapat perlakuan yang adil dalam proses pembongkaran tersebut.
Baca Juga: Pembongkaran lapak kaki lima di Puncak Bogor akan lakukan tahap ke 2 sampai ke warpat
Kejadian ini menjadi cerminan dari ketidakpedulian terhadap nasib individu-individu kecil yang menggantungkan hidup mereka pada usaha dagang di kawasan Puncak.
"Saya gak punya rumah karena kena tipu habis-habisan, sekarang kontrakan juga belum dapet," tutur Sri disela isak tangisnya.
Setelah ini, dia mengaku akan tetap mengisi kios di Rest Area Gunung Mas Puncak. Meski dia khawatir pemasukan yang didapat tidak bisa menutup biaya kebutuhan sehari-hari.
"Saya emang udah dapat kunci kios, pernah saya isi tapi gak ada pemasukan di sana," katanya.
Baca Juga: Penggusuran paksa lapak pedagang kaki lima di puncak Bogor dipaksa pindah ke rest area Gunung Mas