Sebenarnya, pemerintah Indonesia sudah lama mendorong penggunaan biofuel sebagai bagian dari bauran energi nasional. Melalui Peraturan Menteri ESDM, pencampuran etanol di BBM memang diizinkan dalam kadar tertentu.
Target pemerintah dalam RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) adalah meningkatkan porsi energi terbarukan hingga 23% pada tahun 2025. Salah satu caranya adalah melalui Bioetanol Program Mandatori, di mana bensin dicampur etanol secara bertahap.
Artinya, kebijakan ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Hanya saja, komunikasi publik yang minim membuat isu ini menimbulkan kegaduhan.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mencampur etanol ke dalam BBM. Mari kita bandingkan:
- Amerika Serikat: menerapkan standar E10 (10% etanol). Bahkan ada varian E85 untuk kendaraan fleksibel.
- Brasil: pionir bioetanol, mayoritas kendaraan di sana memakai campuran 25% etanol.
- Thailand & India: sudah menjalankan program E20 sebagai bagian dari kebijakan energi hijau.
Jika dibandingkan, kandungan 3,5% di Indonesia sebenarnya relatif kecil. Namun, yang membedakan adalah tingkat kesiapan regulasi, infrastruktur, dan edukasi publik.
Pro dan Kontra di Masyarakat
Pro:
- Lebih ramah lingkungan (emisi lebih rendah).
- Menambah nilai ekonomi komoditas lokal (tebu, singkong).
- Mendukung transisi energi.
Kontra:
- Kekhawatiran merusak mesin kendaraan.
- Minim sosialisasi, konsumen merasa tidak transparan.
- Potensi harga BBM makin mahal jika pasokan etanol bergantung pada impor.
Imbauan untuk Konsumen
Apa yang bisa dilakukan konsumen di tengah polemik ini?
- Cek jenis BBM: gunakan bahan bakar sesuai rekomendasi pabrikan.
- Rawat kendaraan rutin: terutama sistem bahan bakar.
- Pantau regulasi: ikuti update resmi dari ESDM dan Pertamina.
- Jangan panik: etanol pada kadar rendah relatif aman, tapi tetap butuh kejelasan aturan.
Polemik BBM etanol 3,5% membuka mata kita bahwa transisi energi tidak bisa hanya soal teknologi, tapi juga soal transparansi, komunikasi, dan kepercayaan.
Indonesia memang perlu mengejar target energi terbarukan, namun tanpa penjelasan yang jelas kepada masyarakat, kebijakan bisa berbalik jadi bumerang.
Ke depan, pemerintah dan Pertamina perlu lebih terbuka soal kandungan bahan bakar, termasuk memberi label jelas seperti di negara lain (E10, E20). Dengan begitu, konsumen bisa memilih dengan sadar, bukan sekadar menerima tanpa tahu.
Artikel Terkait
Dari Operator ke Penjual Kopi: Cerita Pegawai Shell
Kenapa SPBU Shell Kosong? Ini 5 Penyebab Utama
BBM Shell Habis, Ini Klarifikasi ESDM dan DPR
Dampak Ekonomi dari Fenomena SPBU Shell Kosong