Secara hukum, pihak yang terbukti lalai hingga menyebabkan keracunan massal bisa dikenai pasal tentang kelalaian yang mengakibatkan korban. Polisi masih mendalami siapa yang paling bertanggung jawab.
Jika terbukti ada unsur kesengajaan atau manipulasi anggaran, maka kasus bisa naik menjadi tindak pidana korupsi atau penipuan. Artinya, konsekuensinya tidak hanya administratif, tetapi juga hukum pidana.
Di luar ranah hukum, tekanan publik semakin kuat. Orang tua korban menuntut transparansi dan keadilan. “Kami serahkan anak-anak kami untuk belajar, bukan untuk jadi korban percobaan program,” ujar seorang orang tua dengan nada emosional.
Di media sosial, warganet ramai menyoroti kebijakan MBG. Sebagian mempertanyakan kualitas pengawasan, sebagian lain bahkan mendesak agar program dihentikan sementara sampai benar-benar aman.
Kasus ini mengindikasikan bahwa masalahnya bukan hanya di satu sekolah atau satu penyedia katering. Bisa jadi ada masalah sistemik dalam implementasi MBG:
- Proses tender katering yang tidak transparan.
- Minimnya standar keamanan makanan yang ketat.
- Pengawasan lemah di tingkat sekolah dan daerah.
- Serapan anggaran besar tanpa kontrol kualitas.
Jika hal-hal ini tidak diperbaiki, kasus serupa bisa terulang di daerah lain.
Kasus keracunan MBG di Bandung Barat menegaskan pentingnya akuntabilitas dalam program nasional. Investigasi yang sedang berjalan harus benar-benar mengungkap siapa yang lalai dan memastikan ada sanksi yang tegas.
Karena pada akhirnya, yang menjadi korban adalah siswa generasi penerus bangsa yang seharusnya dilindungi, bukan justru dirugikan.
Artikel Terkait
Kontribusi Program MBG Terhadap Mitra Bisnis dan Tenaga Kerja di Indonesia
Ratusan Siswa di Banggai Kepulauan Diduga Keracunan MBG
Ratusan Pelajar Bangkep Alami Gangguan Usai Konsumsi Menu MBG