Bentuk bangunan Istana Batu Tulis menunjukkan kesamaan dengan Istana Tampaksiring di Bali karena keduanya dirancang oleh arsitek yang sama.
Cerita dari masyarakat sekitar mencatat bahwa Soekarno sering menginap di Istana Batu Tulis dan senang berinteraksi dengan warga sekitar.
Namun, situasi politik yang bergejolak setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 menyebabkan citra Soekarno memudar.
Pada tanggal 7 Maret 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mencabut mandat Soekarno sebagai presiden.
Dalam buku otobiografi "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat" karya Cindy Adams, disebutkan bahwa Soekarno mengharapkan untuk dimakamkan di wilayah pegunungan setelah meninggal.
Meskipun buku tersebut tidak secara spesifik menyebutkan tentang Istana Batu Tulis, namun Soekarno mengungkapkan keinginannya untuk dimakamkan di tempat yang sederhana.
"Saya ingin berbaring di antara perbukitan dan ketenangan. Hanya keindahan dari negara yang saya cintai dan kesederhanaan sebagaimana saya hadir. Saya berharap rumah terakhir saya dingin, pegunungan, daerah Priangan yang subur di mana saya bertemu pertama kali dengan petani Marhaen," kata Soekarno dalam buku itu.
Soekarno wafat pada 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.
Pemerintah Orde Baru memutuskan untuk memakamkan Soekarno di kota kelahirannya di Blitar, Jawa Timur melalui Keppres RI Nomor 44 Tahun 1970.
Setelah Soekarno meninggal, pengelolaan Istana Batu Tulis diambil alih pemerintah Orde Baru.
Baru pada pemerintahan mendiang Presiden Abdurrahman Wahid, pengelolaan Istana Batu Tulis diserahkan kembali kepada ahli waris Soekarno.***