BOGORINSIDER.com – Saat isu rumah tangga Raisa dan Hamish Daud muncul di media sosial, respons publik begitu cepat dan emosional.
Belum ada klarifikasi resmi, tapi ribuan komentar sudah memenuhi kolom berita dan akun gosip.
Pertanyaannya sederhana tapi penting: mengapa publik begitu ingin tahu urusan pribadi artis?
Dulu, gosip hanya bisa didengar di warung kopi atau halaman majalah hiburan.
Kini, gosip adalah real-time entertainment disebar, dikomentari, dan dianalisis oleh jutaan orang secara bersamaan.
Bagi sebagian netizen, ikut membahas gosip adalah bentuk hiburan yang murah dan instan.
Ada rasa “dekat” dengan artis ketika membicarakan kehidupan mereka.
Namun tanpa disadari, keterlibatan emosional itu sering melampaui batas wajar.
Media sosial menciptakan ilusi kedekatan.
Ketika Raisa membagikan foto keluarga atau momen panggung, publik merasa mengenalnya secara pribadi.
Dan ketika unggahan itu berhenti atau hilang publik merasa “berhak” bertanya kenapa.
Fenomena ini disebut parasocial relationship, hubungan satu arah di mana penggemar merasa punya ikatan emosional dengan figur publik.
Hubungan ini bisa membuat netizen merasa memiliki hak atas kisah hidup sang idola.
“Padahal, hubungan itu fiktif dibuat oleh persepsi, bukan interaksi nyata,” ujar Dr. Rani Kusuma, pakar psikologi komunikasi dari Universitas Indonesia.
“Namun efeknya nyata: ketika artis ‘terluka’, penggemar ikut terluka. Saat artis diam, mereka merasa diabaikan.”
Baca Juga: “Rahasia Kekuatan Hubungan Raisa dan Hamish Daud”
Rasa simpati sering kali bergeser menjadi spekulasi.
Awalnya ingin tahu kabar, lama-lama ikut menilai, menuduh, bahkan menghakimi.
Gosip Raisa dan Hamish memperlihatkan hal ini dengan jelas.
Banyak komentar publik yang awalnya tampak seperti dukungan, tapi berubah menjadi tekanan sosial.
Misalnya, kalimat seperti “Sayang banget kalau mereka cerai” terdengar empatik, tapi sebenarnya menambah beban bagi pasangan yang sedang diterpa isu.
Internet telah membuat batas antara perhatian dan intervensi menjadi kabur.
Ada fenomena lain di balik ini: FOMO (Fear of Missing Out).
Netizen takut ketinggalan informasi terbaru, terutama jika menyangkut nama besar seperti Raisa.
Maka mereka berlomba menjadi yang pertama tahu, pertama komentar, atau pertama menyebarkan kabar.
Sayangnya, kecepatan itu sering mengorbankan kebenaran.
Banyak yang tidak memeriksa sumber berita, hanya membaca judul, lalu menyebarkan ulang hingga rumor kecil berubah menjadi “fakta umum”.
Di sinilah gosip berubah dari hiburan menjadi echo chamber ruang gema tempat opini menggulung tanpa kendali.
Fenomena gosip digital tidak bisa disalahkan hanya pada netizen.
Media daring pun ikut berperan dalam menciptakan siklus kehebohan.
Ketika satu topik viral, media berlomba menulis artikel dengan judul bombastis.
Algoritma bekerja, klik bertambah, dan berita terus diperbarui meski tanpa data baru.