BOGORINSIDER.com - Suhu udara Jakarta dalam beberapa pekan terakhir terasa menyengat.
Bahkan, saat sore menjelang malam, panas seolah belum juga reda.
Banyak warga bertanya-tanya: kenapa Jakarta tetap terasa gerah bahkan setelah matahari terbenam?
Jawabannya ada pada satu fenomena: Urban Heat Island (UHI) atau yang biasa disebut “pulau panas perkotaan”.
Apa Itu Urban Heat Island (UHI)?
Urban Heat Island adalah fenomena ketika suhu di wilayah perkotaan lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya.
Menurut BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), perbedaan suhu antara pusat Jakarta dan pinggiran seperti Bogor atau Depok bisa mencapai 2–5°C.
“Panas ini tidak hanya berasal dari sinar matahari, tapi juga dari aktivitas manusia,” jelas Dr. Andini Rahma, peneliti klimatologi BRIN.
“Bangunan tinggi, jalan aspal, kendaraan bermotor, dan AC semuanya menyumbang panas tambahan.”
Kota Beton yang Menyimpan Panas
Jakarta memiliki lebih dari 70% permukaan tertutup beton dan aspal.
Bahan-bahan ini menyerap panas di siang hari dan melepaskannya perlahan di malam hari menyebabkan udara tetap hangat bahkan setelah matahari terbenam.
Permukaan alami seperti tanah dan pepohonan yang seharusnya menyerap dan menyeimbangkan panas justru semakin berkurang.
Ruang hijau Jakarta hanya sekitar 9% dari total wilayah, jauh dari rekomendasi WHO yang seharusnya minimal 20%.
“Bayangkan satu kota besar tanpa cukup pepohonan. Panasnya bukan hanya dari atas, tapi juga memantul dari bawah,” ujar Andini.
Polusi dan Kendaraan: Penyumbang Panas Tak Terlihat
Selain struktur kota, emisi kendaraan bermotor menjadi salah satu kontributor terbesar peningkatan suhu.
Data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI mencatat, lebih dari 12 juta kendaraan melintas setiap hari di wilayah Jakarta.
Gas buang CO₂ dan partikulat PM2.5 memperburuk kualitas udara serta menjebak panas di lapisan bawah atmosfer.
Kombinasi antara polusi dan radiasi matahari menciptakan efek mirip “selimut panas” udara sulit bergerak naik, sehingga panas terperangkap di permukaan kota.
Hijau yang Mulai Menghilang
Dalam dua dekade terakhir, pembangunan masif di Jakarta telah memangkas banyak taman kota dan ruang terbuka hijau.
Riset BRIN tahun 2025 menunjukkan bahwa suhu rata-rata kawasan yang kehilangan 30% ruang hijaunya meningkat sekitar 1,2°C dibanding tahun sebelumnya.