BOGORINSIDER.com --Nama Aty Kodong mungkin kini dikenal sebagai salah satu bintang dangdut jebolan D’Academy Indosiar.
Tapi di balik senyumnya di panggung, ada kisah panjang yang membuat siapa pun akan menunduk haru.
Lahir dengan nama Nur Aty di Dusun Tongke-tongke, Desa Lowa, Selayar, Sulawesi Selatan, ia tumbuh dalam keterbatasan.
Rumahnya berdinding papan, bocor di beberapa sisi, dengan dapur yang kadang hanya berisi beras dan garam.
Sejak kecil, Aty sudah yatim. Ayahnya, Karimung, berpulang saat merantau di Sulawesi Tenggara.
Sang ibu, Nur Alang, berjuang seorang diri membesarkan tiga anak. “Kami pernah makan hanya sekali sehari. Kadang cuma nasi dicampur garam,” kenang Aty.
Baca Juga: Ngopi Sekaligus Jajan, Deretan Coffe Shop dengan Menu Kopi + Camilan Lokal Favorit di Mancur Bogor
Namun, dari panggung kecil di kampungnya, semangat besar mulai tumbuh. Bayarannya dulu hanya Rp10.000 per tampil, tapi Aty tak pernah mengeluh. Ia yakin, suara adalah jalan menuju masa depan yang lebih baik.
Tahun 2014 menjadi titik balik. Dengan uang Rp200.000, Aty berangkat dari Selayar ke Makassar untuk audisi D’Academy Indosiar.
Ia bahkan pertama kali naik pesawat—tangannya gemetar, tapi hatinya penuh harapan.
Hasilnya? Ia lolos dan menjadi grand finalis Dangdut Academy 2014.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Di tahun berikutnya, sang ibu berpulang.
Baca Juga: 7 Tempat Ngopi Paling Skena di Mancur, Dari Warung Nyaman sampai Kafe Estetik