BOGORINSIDER.com – Tragedi ambruknya gedung pesantren di Sidoarjo membuka mata kita bahwa bangunan pendidikan sering kali luput dari perhatian serius soal standar konstruksi. Padahal, keselamatan ratusan bahkan ribuan siswa dan santri bergantung pada kualitas gedung tempat mereka belajar.
Kasus yang Berulang
Bukan pertama kali gedung sekolah atau pesantren runtuh di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir, lebih dari 2.000 sekolah tercatat mengalami kerusakan berat akibat konstruksi rapuh atau bencana alam, berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Kasus di Sidoarjo menambah daftar panjang tragedi yang seharusnya bisa dicegah jika pengawasan konstruksi dilakukan lebih ketat.
Apa Kata Regulasi?
Sebenarnya, aturan soal standar bangunan pendidikan sudah ada. Permendikbud Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan, serta Peraturan Menteri PUPR Nomor 14/PRT/M/2017 tentang Bangunan Gedung, jelas mengatur bahwa setiap fasilitas pendidikan wajib memenuhi syarat keselamatan struktur, kenyamanan, dan keamanan.
Namun, dalam praktiknya, pengawasan lemah dan biaya pembangunan ditekan sering membuat kualitas gedung jauh dari ideal.
Baca Juga: Fakta Terkini Runtuhnya Bangunan Pesantren Jawa Timur
Faktor Penyebab Bangunan Rawan Runtuh
Menurut pakar konstruksi Universitas Brawijaya, ada beberapa faktor umum yang membuat bangunan sekolah dan pesantren rawan ambruk:
- Material Murah & Tidak Standar – penggunaan semen oplosan atau baja ringan kualitas rendah.
- Proses Pembangunan Asal Jadi – minim pengawasan teknis oleh insinyur atau konsultan profesional.
- Kurangnya Izin & Sertifikasi – banyak gedung pesantren dibangun swadaya tanpa persetujuan teknis resmi.
- Beban Bangunan Melebihi Kapasitas – renovasi atau tambahan lantai tanpa perhitungan struktur.
- Dampak Lingkungan – seperti tanah labil, banjir, atau gempa yang mempercepat kerusakan.
Solusi: Audit Nasional & Pendanaan Transparan
Ahli tata kota merekomendasikan pemerintah segera melakukan audit nasional terhadap semua gedung sekolah dan pesantren. Dana revitalisasi pendidikan yang dikucurkan negara harus transparan, melibatkan ahli konstruksi, dan tidak boleh dipotong di jalur birokrasi.
Selain itu, masyarakat perlu diedukasi bahwa pembangunan gedung pendidikan bukan sekadar soal estetika, tetapi menyangkut hak dasar siswa untuk belajar dengan aman.
Tragedi Sidoarjo seharusnya menjadi titik balik untuk reformasi standar bangunan pendidikan di Indonesia. Jika tidak ada perubahan nyata, tragedi serupa bisa terus berulang dan menelan korban jiwa.