BOGORINSIDER.com – Harga beras yang menembus Rp15.950/kg pada September 2025 bukan sekadar isu ekonomi, tapi juga pukulan sosial. Di tengah panen raya yang seharusnya menurunkan harga, justru muncul ironi: masyarakat makin sulit membeli kebutuhan pokok paling mendasar.
Konsumsi Rumah Tangga Terguncang
Menurut data BPS, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 55% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Artinya, ketika daya beli melemah akibat harga pangan tinggi, ekonomi nasional ikut goyah.
Banyak keluarga kini harus mengurangi porsi lauk atau mengganti dengan makanan lebih murah demi memastikan ada beras di meja makan. Bagi kelas menengah bawah, lonjakan harga ini berarti mengorbankan gizi anak.
Fenomena “Rohana” & “Rojali”
Lonjakan harga beras juga memunculkan tren sosial unik. Di media sosial, istilah “Rohana” (Rombongan Hanya Nanya) dan “Rojali” (Rombongan Jarang Beli) ramai dipakai untuk menggambarkan orang yang datang ke pasar atau mal hanya melihat-lihat tanpa belanja.
Fenomena ini mencerminkan daya beli yang kian tertekan, meski indikator makroekonomi pemerintah menunjukkan pertumbuhan positif.
Baca Juga: Operasi Pasar 2025: Solusi Sementara Atasi Lonjakan Harga Beras
Suara Rakyat
Ibu Lina, seorang buruh cuci di Depok, mengaku kini hanya bisa membeli beras dalam jumlah kecil. “Biasanya saya beli 10 kilo, sekarang hanya 5 kilo. Harga terlalu mahal, uang belanja habis buat beras saja,” ujarnya.
Pedagang kecil juga ikut terdampak. Penjualan lauk pauk menurun karena banyak pembeli mengurangi belanja. “Orang lebih fokus beli beras, jadi ikan dan ayam kurang laku,” kata seorang pedagang di Pasar Bogor.
Peran Bansos dan Subsidi
Di sisi lain, pemerintah menyalurkan bantuan sosial pangan untuk kelompok rentan. Program ini dianggap vital untuk menjaga daya beli masyarakat miskin. Namun, banyak aktivis menilai bantuan ini belum merata dan sering terlambat.
Baca Juga: Misteri Harga Beras 2025: Gudang Penuh, Harga Tetap Tinggi