Harus ada standar nasional yang baku tentang penyimpanan, pengolahan, hingga distribusi makanan MBG. Termasuk uji laboratorium berkala sebelum makanan dibagikan.
3. Pengawasan Multi-level
Sekolah, dinas pendidikan, dinas kesehatan, hingga BPOM harus dilibatkan secara langsung dalam setiap tahap. Pengawasan tidak bisa hanya mengandalkan satu pihak.
4. Teknologi Transparansi
Gunakan aplikasi berbasis digital untuk melaporkan distribusi, kualitas, hingga anggaran MBG. Dengan begitu, masyarakat bisa ikut mengawasi.
5. Edukasi Keamanan Pangan
Guru, siswa, dan orang tua perlu diberikan edukasi tentang tanda-tanda makanan tidak layak. Dengan begitu, mereka bisa menjadi filter pertama sebelum makanan dikonsumsi.
Beberapa negara seperti Jepang dan Korea Selatan sudah lama sukses menjalankan program makan siang sekolah. Kunci keberhasilan mereka terletak pada standar ketat, keterlibatan ahli gizi, serta pengawasan berlapis.
Indonesia bisa meniru model tersebut, tentu dengan adaptasi sesuai kondisi lokal.
Baca Juga: Kasus Keracunan MBG, Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?
Pandangan Pakar
Pakar kesehatan masyarakat, Dr. Ratna Dewi, menekankan bahwa MBG jangan sampai berhenti. “Program ini sangat penting untuk perbaikan gizi anak-anak.
Namun, tanpa pengawasan ketat, justru bisa berbalik membahayakan. Solusi ada di kontrol kualitas dan transparansi,” ujarnya.
Skandal keracunan MBG memang menjadi tamparan keras, tetapi bukan alasan untuk mematikan program ini. Justru di sinilah momentum untuk memperbaiki kelemahan, meningkatkan transparansi, dan memastikan bahwa setiap anak Indonesia berhak mendapat makanan sehat yang aman.
Jika pemerintah mampu menjawab tantangan ini, MBG tidak hanya bisa diselamatkan, tetapi juga menjadi warisan kebijakan yang benar-benar membawa manfaat bagi generasi masa depan.