Gerakan ini juga dianggap sebagai kritik sosial terhadap budaya arogansi sebagian pejabat di jalan raya. Banyak yang menilai, penggunaan strobo dan sirene untuk kepentingan non-darurat hanya memperkuat kesan jarak antara pejabat dan rakyat.
Seorang pengamat transportasi menilai, “Ini bukan sekadar soal lampu atau suara, tapi soal bagaimana negara memperlakukan warganya. Jalan raya adalah ruang publik yang harus adil untuk semua.”
Selain soal keadilan, aspek keselamatan juga menjadi sorotan. Sirene mendadak atau strobo yang menyilaukan bisa membuat pengendara lain panik dan berpotensi menimbulkan kecelakaan.
Bahkan, ada laporan bahwa beberapa pengendara motor hampir terjatuh karena tergesa-gesa menepi saat mendengar sirene dari iring-iringan pejabat.
Tuntutan Publik
Gerakan Stop Tot Tot Wuk Wuk membawa beberapa tuntutan, antara lain:
- Penegakan hukum tegas terhadap penggunaan strobo/sirene ilegal.
- Pembatasan ketat pemakaian sirene hanya untuk kondisi darurat.
- Transparansi aturan pengawalan pejabat agar tidak disalahgunakan.
- Edukasi publik tentang hak dan kewajiban pengguna jalan.
Di balik humor dan parodi, gerakan ini sesungguhnya mencerminkan lahirnya kesadaran baru masyarakat: bahwa keselamatan dan keadilan di jalan raya adalah hak semua orang, bukan hanya hak kelompok tertentu.
Apabila aspirasi ini benar-benar didengar, bukan tidak mungkin Indonesia akan punya standar baru dalam penggunaan fasilitas darurat di jalan.
Gerakan “Stop Tot Tot Wuk Wuk” mungkin lahir dari canda di media sosial, tetapi dampaknya nyata: pemerintah dan polisi mulai meninjau ulang kebijakan penggunaan strobo dan sirene.
“Jalan milik bersama, bukan hanya milik yang punya sirene,” tulis seorang netizen, merangkum semangat gerakan ini.
Artikel Terkait
Awal tahun, Polresta bakal terapkan E-TLE di Kota Bogor buat yang melanggar lalu lintas
Kecelakaan Beruntun di Tol Purbaleunyi Ganggu Arus Lalu Lintas
Tabrakan beruntun di Jalan Raya Cianjur-Cipanas, lalu lintas lumpuh total