BOGORINSIDER.com – Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang mewajibkan dana pemerintah Rp200 triliun hanya digunakan untuk kredit sektor riil menuai beragam reaksi. Dari satu sisi, kebijakan ini dipandang sebagai langkah progresif untuk mendukung UMKM dan pertumbuhan ekonomi.
Namun, dari sisi lain, muncul kritik dan kekhawatiran terkait implikasi politik, risiko fiskal, dan keberlanjutan kebijakan.
Banyak pelaku usaha dan masyarakat menyambut baik instruksi ini. Mereka menilai dana pemerintah seharusnya memang kembali ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan produktif.
Dengan adanya aturan ini, peluang UMKM untuk mendapat modal kerja lebih terbuka.
Ketua Asosiasi UMKM Indonesia menyatakan:
“Kami mendukung penuh langkah Menkeu. UMKM sering kali kesulitan akses kredit, kebijakan ini bisa jadi game changer.”
Meski banyak dukungan, kritik juga bermunculan. Sejumlah ekonom menilai kebijakan ini terlalu berisiko jika tidak diimbangi dengan sistem monitoring yang ketat.
Baca Juga: Instruksi Menkeu Bisa Tekan Permintaan Obligasi
Kekhawatiran utama adalah potensi non-performing loan (NPL) yang meningkat.
Dari sisi politik, beberapa anggota DPR menyebut kebijakan ini perlu kajian lebih dalam. Mereka khawatir bank BUMN terbebani penyaluran kredit yang terlalu agresif.
Seorang anggota DPR mengatakan:
“Kredit memang penting, tapi jangan sampai bank dipaksa tanpa kesiapan. Kalau kredit macet, siapa yang akan tanggung?”
Sebagian pengamat melihat kebijakan ini juga memiliki nuansa politik. Pergantian Menkeu dari Sri Mulyani ke Purbaya dianggap sebagai perubahan arah besar dalam strategi ekonomi pemerintah.
Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa ada kepentingan politik di balik perubahan kebijakan.
Artikel Terkait
Menkeu Purbaya, Dari Krisis 98 Hingga Bongkar Masalah Ekonomi Era SBY-Jokowi di DPR RI
Drama Anak Menkeu Purbaya, Unggahan CIA Bikin Heboh Sindir Sri Mulyani
Dana 200 Triliun di BI, Menkeu Purbaya Siap Tarik untuk Ekonomi Buat Rupiah Naik