BOGORINSIDER.com - Di era digital saat ini, informasi tersedia dalam hitungan detik. Cukup ketik gejala yang kita rasakan di kolom pencarian Google, dan sederet kemungkinan penyakit akan muncul, lengkap dengan istilah medis yang terdengar menakutkan. Tanpa disadari, banyak dari kita mulai menaruh kepercayaan lebih kepada hasil pencarian internet ketimbang pendapat dokter profesional. Ironisnya, hal ini tidak hanya terjadi pada masalah fisik, tetapi juga menyusup ke dalam ranah kesehatan mental.
Kita Tak Lagi Sakit, Tapi Merasa Pantas Menjadi Sakit
Fenomena ini semakin masif terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. Ketika hidup sedang berat, ketika hubungan tidak berjalan sesuai harapan, ketika sekolah atau pekerjaan mulai terasa menekan muncullah dorongan untuk mencari tahu: “Apa yang salah dengan diri saya?” Dan jawaban instan pun datang: depresi, anxiety disorder, ADHD, bahkan bipolar. Dengan mudahnya, kita memberikan label pada diri sendiri hanya karena membaca artikel di blog, menonton video TikTok, atau mengikuti kuis di Instagram.
Baca juga!
Tak ada lagi ruang untuk merasa sedih biasa, stres biasa, atau kecewa biasa. Semua perasaan harus memiliki label. Dan label itu meski tidak didiagnosis secara resmi seringkali langsung diyakini sebagai kenyataan.
Ketika Validasi Mengalahkan Proses Penyembuhan
Yang membuat situasi ini lebih rumit adalah adanya tren mengunggah ‘pengakuan’ kondisi mental ke media sosial. Tentu tidak salah jika seseorang ingin membagikan perjuangannya, apalagi untuk edukasi atau menyemangati sesama. Namun menjadi persoalan ketika "pamer penderitaan" dijadikan alat validasi sosial. Saat penyakit mental justru dijadikan identitas atau estetika, bukan lagi sesuatu yang ingin disembuhkan, tapi dipelihara agar tetap relevan di linimasa.
Baca juga!
Postingan penuh filter gelap, musik sedih, kutipan soal luka batin, hingga rekaman video menangis di kamar semuanya menjelma sebagai simbol eksistensi. Semakin kita terlihat ‘hancur’, semakin kita merasa dimengerti. Tapi pertanyaannya: benarkah itu bentuk dari penyembuhan?
Bahaya Diagnosa Semu: Efek Domino yang Tak Terlihat
Mendiagnosis diri sendiri apalagi dengan referensi yang terbatas dan tidak akurat bukan hanya keliru, tapi juga berbahaya. Self-diagnosis bisa menciptakan kekhawatiran berlebihan, membuat seseorang merasa lebih buruk dari yang sebenarnya, atau justru menutup mata terhadap masalah yang sebenarnya lebih serius.
Misalnya, seseorang merasa kesulitan fokus saat belajar, lalu menyimpulkan ia mengidap ADHD hanya dari satu video YouTube. Tanpa konsultasi dengan psikolog, ia mulai membentuk persepsi bahwa dirinya "sakit" dan tidak bisa belajar sebagaimana mestinya. Alhasil, ia tidak lagi mencari solusi yang nyata, seperti manajemen waktu atau latihan fokus, karena sudah percaya bahwa dirinya “memang tidak bisa”.
Internet Bukan Rumah Sakit, Google Bukan Psikolog
Google, TikTok, atau Instagram bukan tempat diagnosis. Mereka bisa menjadi alat bantu untuk menambah pengetahuan, tapi bukan pengganti kunjungan ke ahli. Menyederhanakan penyakit mental seperti menebak zodiak hanya akan merusak pemahaman publik tentang kesehatan jiwa, membuat orang-orang yang benar-benar sakit menjadi tidak terdengar, dan memperparah stigma yang sudah ada.
Penyakit mental bukan tren. Itu nyata. Itu menyakitkan. Dan itu tidak seharusnya dijadikan konten.