BOGORINSIDER.com – Harga beras di Indonesia kembali membuat heboh. Meski panen raya menghasilkan surplus, harga beras medium di pasaran justru meroket hingga Rp15.950 per kilogram pada September 2025.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: kenapa hukum pasar seolah tidak berlaku?
Secara logika, panen melimpah harusnya menekan harga. Stok gudang Bulog bahkan dilaporkan aman hingga akhir tahun. Namun, kenyataannya berbeda. Di banyak pasar tradisional, harga beras melonjak dan memberatkan kantong masyarakat.
Ekonom menilai ada masalah pada tata niaga dan distribusi. Rantai pasok yang panjang, biaya transportasi tinggi, hingga permainan harga oleh pedagang besar menyebabkan harga tak kunjung turun.
Beras bukan sekadar komoditas, tapi penentu inflasi pangan nasional. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi beras terhadap inflasi mencapai 25–30 persen. Itu artinya, kenaikan sedikit saja langsung memengaruhi indeks harga konsumen.
Kenaikan harga beras juga berdampak pada konsumsi rumah tangga. Bagi keluarga miskin, membeli beras lebih mahal berarti harus mengurangi belanja lauk pauk atau gizi tambahan.
Seorang pedagang di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, mengatakan harga tinggi lebih disebabkan oleh biaya logistik. “Harga gabah dari petani sebenarnya stabil. Tapi biaya angkut, distribusi, dan margin tengkulak bikin naik,” ujarnya.
Di sisi lain, petani justru tak menikmati lonjakan harga. Saat panen raya, mereka menjual gabah dengan harga relatif rendah karena keterbatasan akses langsung ke konsumen.
Pemerintah menyiapkan operasi pasar dan paket stimulus pangan Rp16,23 triliun untuk menahan laju harga. Namun, banyak analis menyebut langkah itu hanya solusi jangka pendek. Reformasi tata niaga dan digitalisasi distribusi dianggap lebih mendesak untuk memastikan harga lebih adil.
Jika masalah ini tidak segera ditangani, inflasi bisa terus menekan daya beli masyarakat. Harga beras yang tinggi juga berpotensi memperlebar kesenjangan, sebab keluarga menengah atas mungkin tidak terlalu terpengaruh, sementara keluarga miskin sangat terbebani.
Fenomena ini menunjukkan, produksi melimpah tidak selalu berarti harga murah jika distribusi tidak efisien. Masyarakat berharap langkah pemerintah benar-benar efektif, bukan sekadar tambal sulam.