BOGORINSIDER.com - Insiden di rumah Ahmad Sahroni, anggota DPR RI dari Partai NasDem, Sabtu (30/8/2025) di Tanjung Priok, Jakarta Utara, menyingkap sisi lain yang kerap luput dibahas: kemarahan politik warga yang bergeser menjadi aksi penjarahan.
Awalnya, massa yang berkumpul di Jalan Swasembada Timur XXII melampiaskan kekecewaan dengan melempari rumah Sahroni. Namun, situasi cepat berubah setelah pagar berhasil diruntuhkan. Warga berbondong-bondong masuk, bukan hanya merusak bangunan dan mobil listrik yang terparkir, tetapi juga mengangkut barang-barang pribadi dari dalam rumah.
Pemandangan warga membawa boneka, koper, televisi, hingga aksesori mewah menandakan bahwa kerusuhan tidak hanya bermotif protes, tetapi juga bercampur dengan kesempatan. Amarah politik bercampur dengan dorongan ekonomi dan hasrat konsumtif.
Baca Juga: Kerusuhan Rumah Ahmad Sahroni: Potret Amarah Publik pada Wakil Rakyat
Ucapan Sahroni yang menyebut desakan pembubaran DPR sebagai “mental tolol” memang menjadi pemicu awal. Namun, cepatnya massa beralih dari aksi protes ke penjarahan menunjukkan ada persoalan lebih dalam: ketidakpercayaan pada elit, disertai kondisi sosial yang membuat sebagian orang melihat kerusuhan sebagai ruang untuk “mengambil keuntungan”.
Kini, setelah Sahroni resmi dicopot dari jabatan Wakil Ketua Komisi III DPR, kasus ini bukan hanya soal seorang politisi dan ucapannya, melainkan juga refleksi tentang rapuhnya hubungan antara rakyat dan wakilnya. Saat ruang dialog tertutup, jalanan bisa berubah jadi arena kemarahan — bahkan sekaligus pasar dadakan bagi penjarah.