Dua undang-undang menjadi dasar kuat Kejagung:
- UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pasal 38A UU Tipikor memungkinkan perampasan aset hasil korupsi meski pelaku utama belum divonis, sedangkan UU TPPU memberi wewenang melacak dana lintas rekening.
“Kita ingin hukum bekerja secepat kerugian itu terjadi,” tegas Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Proses Pengadilan dan Tantangan Pembuktian
Pengadilan Tipikor menghadapi tantangan berat: membuktikan niat jahat korporasi dan aliran uang antar-negara.
Kejagung menghadirkan 70 saksi, 4 ahli forensik digital, dan 2 auditor BPK untuk memastikan nilai kerugian negara valid.
Hasilnya, majelis hakim memutuskan total kerugian negara Rp 13,2 triliun dan memerintahkan pengembalian penuh melalui mekanisme asset forfeiture.
“Ini bukan hanya kemenangan jaksa, tapi kemenangan sistem hukum kita,” ujar hakim ketua dalam sidang putusan (17 Oktober 2025).
Kolaborasi Lintas Lembaga
Pemulihan aset sebesar ini tidak mungkin terjadi tanpa kolaborasi.
Kejagung menggandeng PPATK, Kemenkeu, OJK, hingga Interpol untuk menelusuri aset di luar negeri.
Setidaknya tiga negara Singapura, Malaysia, dan UEA ikut membantu pembekuan rekening terkait korupsi CPO.
Langkah ini menjadi contoh nyata bahwa hukum Indonesia mulai menembus batas yurisdiksi dan bekerja sama dalam kerangka hukum internasional.
Baca Juga: Prabowo Saksikan Pengembalian Rp13,2 Triliun Hasil Korupsi CPO ke Negara
Dampak Yurisprudensi: Jalan Baru Penegakan Hukum
Kasus CPO kini menjadi referensi baru bagi jaksa dan hakim di seluruh Indonesia.
Beberapa universitas hukum sudah mulai mengkaji putusan ini sebagai studi kasus.
Analis hukum dari ICJR, Erasmus Napitupulu, menilai:
“Kita akhirnya punya model law enforcement yang tidak berhenti di vonis. Ada manfaat nyata bagi rakyat: uangnya balik.”