BOGORINSIDER.com -- Aliansi Peduli Perempuan dan Anak (APPA) Nusa Tenggara Timur menyampaikan laporan mencengangkan kepada Komisi III DPR RI di Jakarta pada Selasa (20/5/2025).
Dalam rapat tersebut, mereka mengungkap bahwa sekitar 75 persen narapidana di provinsi NTT merupakan pelaku kejahatan seksual, yang mayoritas menyasar perempuan dan anak-anak.
Data ini disampaikan langsung oleh Ketua Tim Penggerak PKK NTT, Asti Laka Lena, yang menyebut bahwa tingginya angka tersebut menunjukkan kondisi darurat kejahatan seksual di wilayah tersebut.
Baca Juga: Lagi-lagi PPDS UI lakukan tindakan pelecehan seksual rekam mahasiswa mandi
Ia juga menilai bahwa penyelesaian kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, bisa menjadi titik awal pembenahan sistem hukum terhadap kasus-kasus serupa.
Menurut Asti, dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak-anak terus meningkat secara signifikan di NTT.
Bahkan, memasuki tahun 2025, hanya dalam tiga bulan pertama sudah tercatat 139 kasus kekerasan seksual.
Berdasarkan proyeksi yang disampaikan, jumlah ini bisa melonjak hingga mencapai 600 kasus pada akhir tahun jika tidak ada tindakan serius dari aparat penegak hukum.
"Kalau tren ini berlanjut, artinya kenaikan bisa mencapai 50 persen. Ini sangat mengkhawatirkan dan sudah masuk kategori darurat perlindungan terhadap perempuan dan anak di NTT," kata Asti dalam pernyataannya di hadapan anggota Komisi III DPR.
Asti juga menyampaikan kritik terhadap proses hukum atas kasus yang menimpa mantan Kapolres Ngada.
Baca Juga: Dokter kandungan Syafril Firdaus terduga pelaku pelecehan seksual di Garut tak lagi berpraktik
Menurutnya, penanganan perkara tersebut kini mengalami stagnasi di tingkat kejaksaan.
Karena itu, ia meminta Komisi III DPR untuk aktif mengawasi dan mendorong agar kasus tersebut diproses dengan serius dan tidak berhenti di tengah jalan.
Lebih lanjut, APPA dan Asti menekankan pentingnya penggunaan dakwaan kumulatif terhadap pelaku, termasuk penerapan pasal-pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan UU Pornografi.
Hal ini dianggap perlu untuk memberikan efek jera serta menunjukkan bahwa kejahatan seksual merupakan pelanggaran serius yang berdampak besar terhadap korban, terutama anak-anak dan perempuan.