Saat muda, lingkaran pertemanan kita terasa luas. Hampir setiap hari bertemu wajah baru: di sekolah, kampus, tempat kerja pertama, atau komunitas. Namun seiring bertambahnya usia, lingkaran itu mengecil—bukan karena kita tak lagi ramah, melainkan karena cara kita memaknai persahabatan ikut berubah.
Dari Kuantitas ke Kualitas
Anak muda cenderung ingin berteman sebanyak mungkin. Networking, nongkrong rame-rame, hingga ikut berbagai komunitas jadi hal biasa. Namun, semakin dewasa, banyak orang mulai menyaring lingkaran sosialnya. Bukan berarti jadi antisosial, tapi lebih karena waktu dan energi menjadi terbatas, sehingga kita memilih menjaga hubungan yang benar-benar bermakna.
Orang yang lebih tua lebih senang menghabiskan waktu dengan sahabat yang sudah lama dikenalnya. Pertemanan yang dibangun atas dasar kenyamanan dan pengertian, bukan sekadar “butuh teman jalan”.
Persahabatan sebagai Sumber Kesehatan Emosional
Penelitian menunjukkan bahwa ikatan persahabatan erat dapat memberikan efek positif bagi kesehatan mental. Hubungan ini sering lebih “ringan” dibanding hubungan keluarga, karena minim tekanan kewajiban. Tertawa bersama sahabat, curhat tanpa takut dihakimi, atau sekadar berbagi kesunyian bisa menjadi terapi alami yang menenangkan.
Menariknya, bagi sebagian orang tua, pertemuan dengan teman bisa lebih menyenangkan daripada berkumpul dengan keluarga inti. Sahabat sering kali menawarkan ruang aman untuk menjadi diri sendiri, tanpa beban peran sebagai orang tua, anak, atau pasangan.
Teori Selektivitas Sosio-emosional
Psikologi menyebut fenomena ini dengan istilah socioemotional selectivity theory. Anak muda melihat masa depan sebagai ruang yang luas sehingga mereka berusaha membangun jaringan sosial seluas mungkin. Sedangkan orang dewasa yang lebih tua melihat waktu ke depan lebih terbatas, sehingga lebih memilih hubungan yang memberi ketenangan dan kebahagiaan instan.
Apa yang Bisa Kita Pelajari Sejak Muda?
Jangan takut kehilangan banyak teman. Lingkaran yang mengecil adalah hal wajar.