BOGORINSIDER.com - Unggahan gaya hidup mewah, liburan mahal, atau pencapaian top di media sosial yang kita kenal dengan istilah flexing bikin gelombang komentar: antara “inspirasional” dan “lebay banget”. Psikolog Klinis Maria Fionna Callista menyampaikan kalau flexing itu gak salah, asal tahu batasannya dan niat di baliknya.
Apa Itu Flexing—Kenapa Sering Jadi Sorotan?
Fenomena flexing adalah bentuk pamer gaya hidup atau pencapaian untuk mendapatkan perhatian, pengakuan, atau sekadar merasa “diakui” secara sosial. Ada banyak alasan kenapa orang melakukannya:
-
Kebutuhan validasi sosial: Like, komentar, dan share jadi "bahan bakar" harga diri.
-
Rasa inferior atau insecurity: Niat menyembunyikan rasa tidak aman diri, padahal malah terlihat justru untuk menutupi keraguan
-
Budaya kompetisi dan konsumerisme: Show off jadi simbol status dalam era digital, kadang tanpa sadar muncul dari tekanan sosial
Kapan Flexing Masih “Sehat”? Kapan Udah Meleset?
Menurut psikolog, flexing bisa positif ketika:
-
Tujuannya berbagi pencapaian dengan rasa syukur bukan untuk menyombongkan diri.
-
Frekuensi wajar, misalnya posting sekali-sekali momen berarti yang juga bisa menginspirasi followers.
Namun, ketika mulai:
-
Berulang dan fokus hanya pada citra, bukan cerita atau proses di baliknya,
-
Atau niatnya untuk membuat orang lain merasa rendah,
Itu bisa mulai jadi masalah psikologis.
Dampak Flexing: Gak Cuma Buat Pelaku, tapi Juga Buat Yang Lihat
Bagi Pelaku:
-
Tekanan untuk terus mempertahankan citra bisa memicu stres, kecemasan, bahkan ketergantungan pada pujian virtual
-
Risiko kebocoran privasi contohnya ketika posting tanpa sadar membagikan informasi pribadi yang sensitif
Bagi Pengamat: