BOGORINSIDER.com - Di balik mangkuk kimchi dan sepiring natto, tersembunyi kekuatan kecil yang menentukan arah besar dalam kesehatan tubuh: kuman baik alias probiotik. Tanpa disadari, masyarakat Korea dan Jepang telah lama menjadikan fermentasi sebagai bagian dari gaya hidup, jauh sebelum kata “gut health” menjadi tren global.
Budaya Makan yang “Mendidik Usus”
Korea punya kimchi, doenjang, dan makgeolli. Jepang punya natto, miso, hingga tsukemono. Semua makanan ini tidak hanya khas dari segi rasa, tapi juga kaya akan mikroorganisme hidup yang menyeimbangkan flora usus. Di saat budaya Barat baru mempopulerkan kombucha dan probiotic yogurt, masyarakat Korea dan Jepang telah “menanam kuman baik” setiap hari melalui piring makan mereka.
Usus bukan hanya tempat pencernaan, melainkan juga rumah bagi sekitar 100 triliun mikroba yang menentukan segalanya dari imunitas, mood, hingga kecenderungan penyakit kronis. Dalam sains, ini dikenal sebagai gut-brain axis: hubungan dua arah antara usus dan otak.
Fermentasi sebagai Gaya Hidup, Bukan Tren
Apa yang membedakan “fermentasi lifestyle” ala Korea dan Jepang dari tren diet lain adalah konsistensi dan budaya turun-temurun. Fermentasi bukanlah pilihan diet musiman, melainkan bagian dari identitas kuliner yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Di Korea, membuat kimchi (kimjang) bahkan masuk dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda UNESCO. Proses ini bukan hanya soal mengolah makanan, tapi juga membangun komunitas, kerja sama, dan spiritualitas.
Sementara itu, di Jepang, natto memang sering dicibir karena tekstur dan aromanya yang tajam. Tapi bagi banyak orang Jepang, menyantap natto setiap pagi adalah ritual sehat yang tak tergantikan karena tahu bahwa di balik aroma kuatnya, ada enzim nattokinase dan bakteri Bacillus subtilis yang ampuh menjaga tekanan darah dan menyehatkan usus.
Indonesia Belum Tertinggal
Indonesia sendiri sebenarnya memiliki warisan fermentasi yang tak kalah kaya dari tempe, tape, dadih, sampai tauco. Namun, makanan-makanan ini sering “terpinggirkan” dalam gaya hidup modern yang lebih memilih makanan instan.
Jika Korea dan Jepang berhasil mengangkat fermentasi ke level gaya hidup global, maka Indonesia pun bisa. Caranya? Dimulai dari kesadaran bahwa menjaga kesehatan usus tidak harus rumit cukup dengan makan tempe setiap hari, misalnya.
Akhir Kata: Saatnya Kembali Berteman dengan Kuman
Di era di mana segala sesuatu harus steril dan bebas kuman, gaya hidup fermentasi justru mengajarkan sebaliknya: tidak semua kuman itu jahat. Dengan memelihara mikrobiota usus lewat makanan fermentasi, kita sebenarnya sedang menanam "taman" kebaikan dalam tubuh sendiri.
Karena kadang, untuk menjadi sehat, kita hanya perlu lebih percaya pada apa yang sudah diajarkan nenek moyang—dan memberi ruang bagi kuman baik untuk tumbuh bersama kita.
Artikel Terkait
Tarif endorse lebih mahal dari UKM Makassar, tapi kok selebgram Eritza Dwi Ardani memilih open BO?
HA IPB AWARDS 2024, Apresiasi kepada Alumni Terpilih