BOGORINSIDER.com - Ngaca, atau bercermin, seringkali diasosiasikan dengan self-care dan penerimaan diri. Banyak yang percaya bahwa menghabiskan waktu di depan cermin adalah cara untuk mencintai diri sendiri merapikan rambut, memastikan wajah segar, atau sekadar memberi afirmasi positif pada bayangan diri. Tapi, bagaimana jika kegiatan yang dianggap bentuk self-love itu justru menjadi pemicu kecemasan yang tak disadari?
Dari Ritual Harian Jadi Obsesi Tak Sehat
Bercermin adalah bagian dari keseharian hampir semua orang. Rata-rata, seseorang bisa bercermin 4 hingga 5 kali dalam sehari. Tapi bagi sebagian orang, cermin bukan sekadar alat bantu berdandan ia bisa jadi tempat bertarung dengan bayangan diri sendiri.
Dalam sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Behaviour Research and Therapy tahun 2001, ditemukan bahwa penderita Body Dysmorphic Disorder (BDD) bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan cermin, bukan untuk menikmati penampilan, tetapi mencari-cari kekurangan yang ingin mereka sembunyikan, perbaiki, atau bahkan benci.
Ketika “Aku Insecure” Sudah Jadi Mantra Harian
BDD sendiri adalah gangguan kesehatan mental yang membuat penderitanya terobsesi dengan kekurangan fisik, meski sebenarnya sangat kecil atau bahkan tidak tampak bagi orang lain. Dilansir dari ugm.ac.id, penderita BDD merasa tidak puas terhadap penampilannya, dan merasa harus terus memperbaiki atau menutupi kekurangan yang mereka lihat.
Sayangnya, era media sosial semakin memperkuat obsesi ini. Filter kamera, tren wajah sempurna, hingga “standar cantik” yang sempit mendorong orang-orang untuk terus mengkritik wajah dan tubuh mereka sendiri. Akibatnya, bercermin bukan lagi tentang mencintai diri, tapi mencari validasi: Apakah aku cukup cantik? Apakah aku sudah seperti mereka?
Risiko Mental dari Cermin
Terlalu sering bercermin atau terlalu lama menatap bayangan diri bisa membawa dampak negatif berikut:
- Kecemasan meningkat: Semakin sering seseorang menatap kekurangan dirinya, semakin besar rasa tidak puas yang muncul. Ini berisiko memperburuk gejala BDD.
- Ketergantungan pada validasi: Jika tiap kali bercermin harus merasa cantik karena komentar orang lain, maka kepercayaan diri menjadi rapuh dan bergantung pada penilaian eksternal.
- Perbandingan sosial makin tinggi: Sering bercermin dan fokus pada kekurangan bisa membuat seseorang semakin membandingkan diri dengan orang lain yang berujung pada iri, cemburu, dan rasa rendah diri.
Solusi: Ubah Fungsi Cermin, Bukan Hilangkan Cerminnya
Cermin tidak salah. Yang salah adalah bagaimana kita memaknainya. Daripada menjadikan cermin sebagai detektor kekurangan, kita bisa mulai melihatnya sebagai pengingat keberadaan bahwa diri kita nyata, hidup, dan terus bertumbuh.
Latih diri untuk:
- Beri afirmasi positif saat bercermin.
- Batasi waktu bercermin jika sudah terasa tidak sehat.
- Fokus pada fungsi (apakah bajumu rapi) bukan penilaian estetika.
Cari bantuan profesional jika kamu merasa ngaca membuatmu semakin cemas dan tidak nyaman dengan diri sendiri.
Ingat, self-love bukan diukur dari seberapa sering kamu mengagumi diri di cermin, tapi dari seberapa kamu bisa berdamai dengan bayangan yang kamu lihat baik saat kamu merasa cantik, maupun ketika kamu sedang tidak suka pada dirimu sendiri.
Artikel Terkait
Lisa Mariana ungkap isi chat WA perlakuan tak menyenangkan dari perwakilan Ridwan Kamil
Tembok Gudang SDA di Pasar Minggu Roboh Diterjang Hujan Deras, Sebuah Motor dan Onderdil Terbawa Arus