BOGORINSIDER.com — Di sebuah sudut tenang Wates, Kulon Progo, berdiri sebuah masjid tua dengan tembok putih kusam dan atap limasan bertingkat. Masjid itu tak sekadar rumah ibadah, tapi saksi bisu perjalanan panjang Islam di tanah Jawa bagian barat: Masjid Pathok Negoro.
Saat adzan berkumandang di antara pepohonan jati dan angin lembut sore, suasana di sekitar masjid terasa seperti melintasi waktu. Tidak ada hiruk-pikuk, hanya kedamaian yang mengendap dalam setiap langkah jamaah yang datang.
Sejarah Singkat Masjid Pathok Negoro
Masjid Pathok Negoro Wates adalah salah satu dari lima masjid “penjaga” Kesultanan Yogyakarta yang dibangun pada masa Sultan Hamengkubuwono I di abad ke-18. Fungsi utama masjid-masjid ini bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga simbol batas kekuasaan spiritual dan pemerintahan kesultanan.
Empat masjid lainnya berada di Ploso Kuning, Dongkelan, Mlangi, dan Babadan. Masing-masing berada di empat penjuru arah mata angin, sementara masjid di Wates ini menjadi penanda batas barat. Dari sinilah lahir sebutan Pathok Negoro, artinya “tanda batas negeri”.
Masjid ini menjadi bukti bahwa Islam di tanah Jawa tidak hanya berkembang lewat dakwah, tetapi juga melalui kearifan lokal dan struktur sosial yang menyatu dengan budaya kerajaan.
Jejak Arsitektur Klasik yang Masih Terjaga
Langkah pertama memasuki halaman masjid seolah membawa kita ke masa lampau. Bangunannya masih mempertahankan bentuk asli: atap tumpang tiga dengan mustaka di puncaknya, simbol hubungan manusia dengan Tuhan. Tiang-tiang kayu jati besar menopang ruang utama, sementara ukiran khas Jawa menghiasi bagian mihrab dan mimbar.
Tak ada ornamen berlebihan. Kesederhanaan arsitektur justru menjadi daya tarik utama. Cahaya alami menembus kisi jendela kayu, menimbulkan bayangan lembut di lantai tegel kuno. Suasana di dalam masjid menenangkan, seakan setiap hembusan angin membawa doa-doa lama dari generasi terdahulu.
“Masjid ini belum pernah direnovasi besar, hanya perawatan ringan,” ujar Pak Suyanto, penjaga masjid generasi ketiga. “Kami ingin menjaga keasliannya, karena di sinilah ruh sejarah Islam Wates bernaung.”
Baca Juga: Wates dan Pesona Senja di Waduk Sermo yang Bikin Lupa Pulang
Tradisi dan Ritual yang Masih Hidup
Lebaran Ketupat di Masjid Pathok Negoro adalah momen sakral. Warga dari berbagai dusun sekitar datang membawa ketupat, opor, dan jenang untuk dibagikan usai salat Idul Fitri ketujuh. Tradisi ini disebut “Upacara Rasulan”, simbol rasa syukur setelah sepekan berpuasa Syawal.
Selain itu, setiap bulan Suro, warga menggelar pengajian malam tirakatan di halaman masjid. Mereka berdoa bersama untuk keselamatan desa dan mengingat jasa para ulama pendiri masjid.