Begitu matahari mulai naik, warna biru perlahan memudar. Sebagai gantinya, pemandangan danau berwarna toska muncul dengan megah.
Air kawah yang mengandung asam tinggi tampak tenang dari kejauhan, padahal suhu airnya bisa mencapai 200 derajat Celsius. Asap putih menari di udara, seolah menutup rahasia bumi yang bergejolak di bawah sana.
Sensasi Mendaki di Antara Awan dan Belerang
Bagi yang belum pernah mendaki, jalur Kawah Ijen tergolong menantang tapi bisa dilalui siapa pun dengan kondisi fisik normal. Panjang jalur pendakian sekitar tiga kilometer dengan waktu tempuh dua jam menuju puncak.
Baca Juga: Menyelami Keindahan Alam Windusari, Surga di Magelang
Di beberapa titik, pemandu lokal biasanya menawarkan masker gas untuk melindungi pernapasan dari asap belerang. Meskipun terasa berat, semua terbayar lunas ketika mencapai bibir kawah dan melihat fenomena langka itu dengan mata kepala sendiri.
Bagi fotografer, waktu terbaik adalah menjelang subuh ketika api biru masih menyala dan langit mulai bergradasi jingga.
Cahaya pagi yang muncul di balik pegunungan menambah keajaiban tersendiri, seolah menegaskan bahwa keindahan sejati sering datang setelah perjuangan panjang.
Tiket, Akses, dan Fasilitas
Harga tiket masuk Kawah Ijen cukup terjangkau. Untuk wisatawan domestik, tiket hari biasa sekitar Rp5.000, sedangkan hari libur Rp7.500. Wisatawan mancanegara dikenai tarif lebih tinggi, rata-rata Rp100.000 hingga Rp150.000 per orang.
Dari pusat Kota Banyuwangi, perjalanan menuju Pos Paltuding memakan waktu sekitar dua jam dengan kendaraan pribadi atau sewa jeep wisata. Akses jalan sudah cukup baik, meski di beberapa titik berkelok dan menanjak. Di area bawah tersedia penginapan, warung, serta tempat penyewaan jaket tebal dan masker gas
Artikel Terkait
Teluk Rubiah: Harmoni Alam dan Kehidupan Pesisir di Ujung Muntok
Heritage Walk Muntok: Wisata Sejarah yang Hidup di Setiap Langkah
Menikmati Kopi dan Kenangan di Kafe-Kafe Tepi Pantai Muntok
Keindahan Bukit Menumbing, Wisata Alam dan Sejarah di Bangka Barat
Wisata Edukasi Tambang Timah: Belajar dari Perut Bumi Bangka