BOGORINSIDER.com — Ketika malam turun di Wates, suasana kota kecil di barat Yogyakarta ini berubah pelan-pelan. Dari kejauhan, aroma daging yang dibakar mengalir bersama angin. Lampu-lampu warung tenda menyala, dan suara arang yang menyala kering terdengar khas. Di situlah, sate klathak menjadi pusat perhatian.
Di pinggir jalan utama menuju Kulon Progo, deretan warung kecil berdiri dengan kursi kayu panjang dan tungku arang di depan. Salah satu yang terkenal adalah Warung Sate Klathak Pak Giman, buka sejak 1998. Tak seperti sate biasa, potongan daging kambingnya ditusuk dengan jeruji besi sepeda bukan bambu agar panas merata sampai ke dalam serat daging.
Aroma gurih bercampur bumbu sederhana hanya garam dan sedikit lada membuat siapa pun yang lewat tak tahan untuk berhenti. Inilah keunikan sate klathak: rasa asli daging yang jujur dan murni.
Kisah di Balik Rasa: Dari Jeruji Besi Hingga Warisan Kuliner
Asal-usul sate klathak bermula dari kebiasaan warga Bantul dan Wates yang memanfaatkan jeruji sepeda untuk memanggang sate. Logam konduktif ini membuat panas menyebar sempurna, sehingga daging matang merata tanpa gosong di luar. Nama “klathak” sendiri berasal dari suara klathak-klathak yang terdengar saat daging dibakar di atas bara arang.
“Kalau pakai tusuk bambu, rasa dalam dagingnya beda,” ujar Pak Giman, sambil membolak-balik tusuk besi di atas arang merah. “Jeruji besi bikin daging empuk tapi tetap juicy.”
Pelanggan datang silih berganti. Dari pengendara motor, mahasiswa, hingga rombongan keluarga. Tak jarang, orang dari luar kota mampir hanya untuk merasakan cita rasa sate klathak otentik yang tak banyak berubah sejak dulu.
Wedang Uwuh: Minuman Hangat Penutup Malam
Selepas makan sate, ada ritual wajib yang tak boleh dilewatkan: menyeruput wedang uwuh. Minuman khas Yogyakarta ini berarti “minuman sampah” bukan karena kotor, melainkan karena campuran rempahnya yang terlihat seperti tumpukan dedaunan.
Dalam satu gelas, ada jahe, kayu secang, daun pala, daun cengkeh, kayu manis, dan serai. Semua direbus bersama, menghasilkan warna merah alami dan aroma tajam yang menenangkan.
“Wedang uwuh itu bukan cuma minuman,” kata Bu Narti, pemilik warung di dekat Alun-Alun Wates. “Dia obat, penghangat, dan teman ngobrol malam.”
Di warung kecilnya, pengunjung duduk lesehan, memegang gelas panas sambil berbincang ringan. Beberapa di antaranya baru pulang dari kerja, sebagian lain sekadar mencari suasana malam yang akrab. Di sinilah esensi kuliner Wates terasa: bukan soal rasa, tapi kehangatan manusia di baliknya.
Wates dan Romantika Kuliner Pinggir Jalan
Kuliner malam di Wates punya karakter sendiri: sederhana, jujur, dan ramah. Tak ada kemewahan restoran, tak ada harga mahal. Hanya aroma arang, tawa pelanggan, dan tangan-tangan pekerja keras yang menjaga api tetap menyala.