Beberapa homestay lokal kini mulai beroperasi, menawarkan pengalaman menginap dengan konsep eco-lodge. Pengunjung dapat tidur di rumah bambu, menikmati makanan khas seperti singang ikan dan jaje janda, serta belajar menenun bersama ibu-ibu desa.
Wisata Edukasi dan Konservasi Alam
Pemerintah daerah bersama komunitas Wawo Green Movement mengembangkan konsep wisata edukatif dan konservatif di kawasan ini. Tujuannya bukan hanya menarik wisatawan, tetapi juga menjaga keseimbangan alam yang menjadi napas kehidupan masyarakat.
Program seperti tanam seribu pohon, konservasi sumber air, dan pelatihan pemandu lokal menjadi bagian penting dari gerakan ini. Para pemuda desa diajarkan untuk menjadi duta lingkungan yang menjaga hutan dan memperkenalkan potensi Wawo dengan cara yang berkelanjutan.
“Wawo bukan hanya milik kami, tapi milik semua orang yang mencintai alam,” ujar Lina, relawan muda yang terlibat dalam proyek konservasi.
Baca Juga: Kisah Mistis Gunung Tambora, Jejak Bencana yang Jadi Daya Tarik Wisata Alam
Perjalanan yang Layak Dikenang
Menuju Wawo memang butuh tenaga ekstra. Jalanan menanjak, sinyal terbatas, dan udara dingin bisa menjadi tantangan. Namun setiap langkah terasa sepadan dengan pemandangan yang menanti di puncak.
Dari sana, pengunjung bisa melihat hamparan perbukitan hijau yang bertemu langit biru. Di kejauhan, Gunung Tambora berdiri megah, seolah menjadi penjaga wilayah ini.
Wawo bukan sekadar destinasi wisata; ia adalah pengalaman menyatu dengan alam, tempat di mana keheningan menjadi bahasa paling indah.
Di tengah dunia yang semakin bising dan cepat, Wawo menawarkan sesuatu yang langka: keheningan. Di sini, waktu berjalan lambat, udara terasa bersih, dan setiap hembusan angin membawa ketenangan.
Ketika matahari terbit di antara kabut, pengunjung menyadari satu hal: keindahan sejati sering kali tidak ditemukan di tempat ramai, tetapi di ruang sunyi yang dijaga dengan cinta.
Wawo adalah bukti bahwa Bima bukan hanya laut dan pantai, tapi juga memiliki surga di ketinggian yang menenangkan jiwa.