Waduk Jatiluhur dan Kisah Alam yang Menjadi Daya Tarik Wisata Purwakarta

photo author
- Jumat, 7 November 2025 | 15:43 WIB
Gerimis lembut di Waduk Jatiluhur memantulkan tenang yang sulit dilupakan. Foto/Bogorinsider.com (Foto/Bogorinsider.com)
Gerimis lembut di Waduk Jatiluhur memantulkan tenang yang sulit dilupakan. Foto/Bogorinsider.com (Foto/Bogorinsider.com)

BOGORINSIDER.com --Gerimis sore itu turun perlahan di atas perairan wisata purwakarta yakni Waduk Jatiluhur. Kabut tipis menyelimuti permukaan air yang tenang, memantulkan cahaya lampu-lampu rumah nelayan di kejauhan.

Di sinilah, di jantung wisata purwakarta, waktu seperti berjalan lebih lambat, memberi ruang bagi siapa pun untuk bernapas dan meresapi keindahan alam tanpa hiruk-pikuk kota.

Waduk yang Tak Pernah Tidur

Dibangun sejak era 1950-an, Waduk Jatiluhur bukan sekadar bendungan raksasa. Ia adalah urat nadi kehidupan masyarakat Purwakarta.

Airnya mengaliri sawah, menjadi sumber listrik, sekaligus tempat ribuan keluarga menggantungkan hidup lewat perikanan dan wisata.

Baca Juga: Menjelajah Bukit Wawo: Keindahan Alam dan Kedamaian di Timur Sumbawa

Saat musim hujan tiba, debit air naik dan lanskapnya berubah total. Bukit-bukit hijau di sekelilingnya tampak seperti dinding alami, memantulkan gema angin yang melintas.

Di tepi waduk, perahu kayu bersandar pelan sambil menunggu penumpang yang ingin menyeberang ke sisi lain sebuah perjalanan singkat yang sering berubah menjadi pengalaman panjang di hati.

Menyusuri Alam yang Hidup di Tengah Gerimis

Perjalanan menuju Jatiluhur tak pernah membosankan. Dari pusat kota Purwakarta, jalan menanjak perlahan melewati perkampungan dan kebun jati. Begitu mendekati area waduk, udara terasa lembap namun segar, khas dataran tinggi yang dikelilingi air luas.

Baca Juga: Transformasi Pantai Lawata, dari Pantai Kota Biasa Menjadi Destinasi Favorit Keluarga

Di musim hujan, banyak wisatawan yang justru memilih datang untuk menikmati suasana teduh. Gerimis tipis menambah efek romantis bagi pasangan, sementara keluarga menikmati piknik sederhana di gazebo pinggir air.

Para fotografer pun berlomba menangkap momen langka: pantulan awan di permukaan waduk yang berwarna perak kehijauan.

Cerita dari Nelayan Jatiluhur

Pak Rahman, nelayan berusia 56 tahun, sudah tiga dekade hidup di atas perahu. “Kalau hujan begini, ikan banyak naik ke permukaan,” katanya sambil menebar jaring.

Di balik keseharian sederhana itu, ada filosofi hidup yang kuat: manusia dan alam berjalan beriringan.

Baca Juga: Kisah Mistis Gunung Tambora, Jejak Bencana yang Jadi Daya Tarik Wisata Alam

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Rosa Nilasari

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Terpopuler

X