destinasi-wisata

Kisah Mistis Gunung Tambora, Jejak Bencana yang Jadi Daya Tarik Wisata Alam

Kamis, 6 November 2025 | 23:54 WIB
Pemandangan kaldera Gunung Tambora saat matahari terbit, simbol kebangkitan dari tragedi menjadi keindahan yang menakjubkan. (Foto/ Istimewa.)

BOGORINSIDER.com — Di ufuk timur Pulau Sumbawa, berdiri gagah Gunung Tambora, saksi bisu dari salah satu bencana alam paling dahsyat dalam sejarah manusia. Dua abad lebih telah berlalu sejak letusannya pada tahun 1815 mengguncang dunia, namun aroma kisah dan legenda dari gunung ini masih hidup di antara kabut pagi dan desir angin di lerengnya.

Letusan yang Mengubah Dunia

Pada awal abad ke-19, Gunung Tambora meletus dengan kekuatan yang luar biasa. Suaranya terdengar hingga Pulau Jawa dan Kalimantan, sementara abu vulkaniknya menutupi langit selama berbulan-bulan. Letusan ini menewaskan puluhan ribu jiwa dan mengubah iklim global tahun 1816 bahkan dikenal sebagai The Year Without a Summer di Eropa.

Namun dari balik bencana itu, lahirlah cerita-cerita yang bertahan hingga kini. Masyarakat Bima percaya bahwa letusan Tambora bukan sekadar fenomena alam, melainkan peringatan dari alam kepada manusia agar tidak melupakan keseimbangan hidup.

Salah satu kisah yang sering diceritakan adalah tentang Kerajaan Tambora, sebuah peradaban yang hilang bersama letusan. Banyak penduduk lokal percaya bahwa sisa kerajaan itu terkubur di dalam tanah, dan bahwa suara-suara halus masih terdengar pada malam tertentu di sekitar lereng.

Baca Juga: Kesultanan Bima: Kisah Sejarah, Religi, dan Arsitektur yang Bertahan Zaman

Kisah Mistis di Balik Keheningan

Pendaki yang pernah bermalam di jalur Pancasila sering bercerita tentang suasana hening yang terasa “berbeda.” Di tengah dinginnya malam, mereka kadang mendengar suara gamelan samar atau langkah kaki yang tak pernah menampakkan wujud.

Cerita ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi menjadi bagian dari warisan lisan masyarakat sekitar. Menurut mereka, suara-suara itu adalah bentuk penghormatan dari roh para leluhur Kerajaan Tambora yang masih menjaga tanah mereka.

Namun menariknya, masyarakat sekitar tidak pernah memandang kisah mistis itu dengan ketakutan. Mereka melihatnya sebagai simbol penghormatan terhadap alam dan sejarah yang tak boleh dilupakan. Seperti kata Amaq Hasan, seorang pemandu lokal, “Tambora itu bukan gunung yang marah, tapi gunung yang punya jiwa. Kalau kita datang dengan hati baik, dia akan menyambut kita dengan indah.”

Ekowisata yang Tumbuh dari Sejarah

Kini, Gunung Tambora bukan lagi sekadar simbol bencana. Ia telah menjelma menjadi destinasi ekowisata yang menarik perhatian wisatawan lokal dan internasional. Jalur pendakian utama seperti Doro Ncanga dan Pancasila kini ramai didaki, terutama pada bulan April saat peringatan letusan Tambora digelar.

Setiap tahun, masyarakat dan pemerintah daerah mengadakan Festival Pesona Tambora, yang menampilkan kesenian tradisional, pameran budaya, serta perjalanan edukatif ke situs sejarah. Pendaki yang mencapai puncak Tambora disuguhi panorama yang tak terlupakan: kaldera raksasa selebar tujuh kilometer dan pemandangan laut biru di kejauhan.

Selain mendaki, wisatawan juga bisa menikmati desa-desa adat di sekitar kaki gunung. Salah satunya Desa Doro Peti, yang terkenal dengan kehidupan masyarakatnya yang sederhana, keramahan penduduk, serta kuliner khas seperti ikan kuah asam dan se’i sapi Bima.

Halaman:

Tags

Terkini