BOGORINSIDER.com — Di sebuah gang sempit di Lasem, suara malam terdengar lembut. Lampu-lampu kuning di depan rumah tua berpadu dengan aroma kopi hitam yang baru diseduh. Di dalam rumah itu, seorang ibu tengah mencelupkan kain putih ke dalam pewarna alam. Tangannya bergerak pelan, hati-hati, seolah setiap motif yang tercetak adalah doa. Begitulah Lasem kota kecil di pesisir utara Rembang yang tak pernah lelah menenun cerita lewat batiknya.
Kampung yang Menyimpan Waktu
Lasem sering disebut sebagai “Tiongkok Kecil di Jawa.” Julukan itu lahir bukan tanpa alasan. Jalan-jalan sempitnya dipenuhi rumah-rumah bergaya arsitektur Tionghoa klasik: tembok tebal, pintu merah tua, dan atap melengkung yang menua dimakan waktu. Namun di balik dinding-dinding itu, Lasem menyimpan kehidupan yang damai dan sederhana.
Berjalan di Kampung Batik Lasem seperti menapaki waktu. Setiap sudutnya menyimpan cerita. Di satu sisi, ada bengkel batik rumahan yang masih menggunakan canting manual dan pewarna alami dari akar mengkudu. Di sisi lain, ada rumah tua dengan ukiran naga dan bunga teratai di dindingnya, peninggalan keluarga peranakan yang dulu berjaya di perdagangan batik pesisir. Semuanya berpadu tanpa sekat, tanpa batas antara Jawa dan Tionghoa karena di Lasem, budaya tak pernah saling menyingkirkan.
Baca Juga: Destinasi Wisata Danau Siombak Medan, Pesona Tenang di Tengah Hiruk Pikuk Kota
Pagi di Lasem: Batik, Kopi, dan Senyum Warga
Pagi di Lasem punya pesona tersendiri. Di sepanjang jalan Karangturi, aroma malam berganti dengan bau lilin batik yang meleleh di wajan kecil. Beberapa ibu duduk di depan rumah, sibuk membatik sambil berbincang ringan. Dari dapur, aroma kopi tubruk menyeruak. Di Lasem, hampir setiap rumah memiliki kebiasaan menyeduh kopi di pagi hari, bukan hanya untuk diminum, tetapi sebagai tanda sambutan bagi siapa pun yang berkunjung.
Seorang pengrajin bernama Bu Sri menatap hasil batiknya dengan senyum lembut. “Batik Lasem itu punya jiwa,” katanya. “Kalau sedang tidak tenang, motifnya bisa melenceng. Jadi sebelum mencanting, kita harus menenangkan hati dulu.”
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi di situlah rahasia keindahan Lasem. Batik bukan sekadar kain, tapi cermin dari kedalaman jiwa pembuatnya.
Motif-Motif yang Menyimpan Cerita
Batik Lasem dikenal karena warnanya yang berani: merah darah ayam, biru tua, dan hitam pekat. Warna-warna ini tidak sekadar estetika, tapi juga simbol. Merah melambangkan keberanian dan cinta, biru melambangkan laut yang melingkupi Rembang, dan hitam melambangkan keteguhan hati.
Motifnya pun khas. Ada motif “Burung Hong” yang menggambarkan kebahagiaan, “Naga” sebagai lambang kekuatan, dan “Gunung Ringgit” yang melambangkan harapan dan kesetiaan.
Beberapa pengrajin di Lasem kini mencoba memadukan motif klasik dengan sentuhan modern. Anak-anak muda di kampung batik mulai bereksperimen membuat tas, sepatu, hingga kemeja kasual dari kain batik Lasem. Mereka tidak ingin batik ini hanya dipajang di museum, tapi dikenakan di jalanan dan dikenali dunia.
Menjelajahi Harmoni Budaya di Setiap Sudut
Tidak jauh dari kampung batik, berdiri kelenteng tua bernama Cu An Kiong. Bangunannya megah, didominasi warna merah dan emas, berdiri sejak abad ke-15. Konon, kelenteng ini menjadi tempat singgah para pelaut Tiongkok yang datang berdagang di pesisir utara Jawa. Dari sinilah percampuran budaya Lasem bermula perdagangan, pernikahan, dan persahabatan lintas etnis membentuk identitas baru yang harmonis.
Di seberang kelenteng, berdiri masjid kecil dengan arsitektur khas Jawa. Menariknya, kedua tempat ibadah ini berdampingan, hanya dipisahkan oleh jalan kecil. Warga setempat sering mengatakan, “Lasem itu seperti kain batik, berbeda warna tapi tetap satu pola.”
Kalimat itu bukan sekadar kiasan, melainkan cerminan hidup mereka yang berjalan dalam harmoni.