BOGORINSIDER.com — Di tengah geliat modernisasi dan arus digitalisasi, Bima tetap menyimpan napas masa lalu yang tak tergantikan. Kota kecil di timur Sumbawa ini bukan hanya dikenal karena lautnya yang tenang dan alamnya yang indah, tetapi juga karena jejak sejarah Kesultanan Bima, sebuah peradaban lokal yang pernah menjadi pusat politik, budaya, dan spiritual di wilayah timur Nusantara.
Kisah Awal dari Tanah yang Diberkahi
Menurut catatan sejarah, Kesultanan Bima berdiri sekitar abad ke-17, ketika pengaruh Islam mulai menyebar di wilayah timur Indonesia. Sebelum itu, Bima dikenal dengan sistem pemerintahan kerajaan yang menganut kepercayaan lokal dan Hindu-Buddha. Namun, kehadiran Sultan Abdul Kahir I sebagai sultan pertama menandai perubahan besar.
Ia membawa nilai-nilai Islam tanpa meniadakan budaya asli Bima. Proses asimilasi inilah yang melahirkan peradaban khas sebuah identitas lokal yang religius namun tetap menghargai tradisi leluhur.
Hingga kini, masyarakat Bima masih mengenal pepatah lama: "Sara sara dou Mbojo, nggahi rawi pahu", yang berarti “adat dan agama berjalan seiring.” Pepatah itu bukan sekadar kata, melainkan panduan hidup masyarakat Bima selama berabad-abad.
Baca Juga: Menemukan Pesona Tersembunyi Teluk Bima, Intan Biru di Nusa Tenggara
Istana Kesultanan Bima: Jejak Arsitektur Klasik yang Masih Berdiri
Salah satu peninggalan paling nyata dari kejayaan masa lalu adalah Istana Kesultanan Bima, yang kini dikenal sebagai Museum Asi Mbojo. Bangunan ini berdiri megah di pusat kota, dengan arsitektur yang memadukan gaya kolonial Belanda dan sentuhan lokal Bima.
Dinding tebal berwarna putih, jendela kayu besar, dan atap tinggi menjadi ciri khasnya. Di dalamnya tersimpan benda-benda bersejarah seperti pedang, naskah kuno, foto-foto para sultan, serta pakaian kerajaan yang masih terjaga dengan baik.
Setiap sudut museum seolah berbicara. Ketika berjalan di lorong-lorongnya, pengunjung bisa membayangkan bagaimana kehidupan bangsawan Bima dahulu. Aula besar tempat sultan menerima tamu masih berdiri kokoh, dihiasi ukiran kayu dengan motif khas Mbojo yang melambangkan kekuatan dan kesetiaan.
Nilai Religi dan Peran Islam dalam Budaya Bima
Kesultanan Bima menjadi salah satu kekuatan besar dalam penyebaran Islam di wilayah Nusa Tenggara. Para ulama dan tokoh agama diundang untuk mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat, tetapi dengan pendekatan yang lembut dan adaptif terhadap adat setempat.
Salah satu simbol religius yang masih hidup hingga kini adalah Masjid Sultan Salahuddin, masjid tertua di Bima yang dibangun pada masa Sultan Abdul Kahir II. Masjid ini menjadi pusat kegiatan keagamaan dan simbol toleransi masyarakat setempat.
Suasana masjid sangat khas: kubah berwarna hijau tua berdiri di antara pepohonan kelapa, dan suara azan yang lembut menggema hingga ke pesisir. Di setiap Ramadan, halaman masjid penuh dengan jamaah yang datang dari berbagai desa. Mereka tidak hanya beribadah, tetapi juga memperkuat rasa kebersamaan yang diwariskan sejak masa kesultanan.
Artikel Terkait
Menikmati Akhir Pekan Agrowisata Cibanten, Liburan Edukatif di Tengah Alam Serang
Menyusuri Sejarah dan Keindahan Tempat Wisata di Bogor Kebun Raya, Warisan Hijau di Tengah Kota
The Ranch Cisarua Bogor, Wisata Ala Eropa di Puncak Cocok Menikmati Akhir Weekendmu Bersama Keluarga
Tiket Masuk Hanya 20k, Kamu Bisa Menikmati Curug Leuwi Hejo, Wisata Surga Tersembunyi di Bogor Timur
Liburan Seru ke Destinasi Wisata Devoyage Bogor, Kota Mini Penuh Warna